Ada Klenik dalam Politik SBY
Posted by
widodosarono
Labels:
Tanah Jawa
TEMPO Interaktif, Jakarta -Namanya Rumekso Jawadi dan Rumekso Yuwono. Kedua abdi dalem Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat itu bertugas sebagai pawang hujan saat Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat berkampanye di Yogyakarta, 4 April 2009. Kedua pawang itu tentu saja tak langsung mendapat tugas dari SBY, tapi dari Ketua Partai Demokrat Yogyakarta.
Entah berkat jasa Jawadi dan Yuwono atau cuma kebetulan saja, mendung yang lama menggantung baru berubah menjadi hujan lebat hanya beberapa menit setelah SBY berpidato.
Itulah satu dari 123 cerita yang terhimpun dalam buku Pak Beye dan Politiknya, yang ditulis Wisnu Nugroho. Cerita dengan judul "Kemenyan di Panggung Pak Beye" itu termuat dalam bab ketujuh: Klenik. Meski begitu, pada tulisan-tulisan lainnya sebetulnya Wisnu tak secara vulgar menyebutkan bahwa SBY gemar melakukan klenik atau mempercayai klenik.
Ia misalnya mengutak-atik angka sembilan yang seolah identik dengan sosok SBY. Tanggal lahirnya, yakni 9 September 1949, kemudian dijadikan nomor kotak pos dan SMS di Istana: 9949. Tak cuma itu, Partai Demokrat juga didirikan SBY pada 9 September. Dan pada Pemilu 2009, ada satu operasi pemenangan yang digerakkan oleh tim sembilan. Masih banyak lagi contoh yang diceritakan Wisnu berkaitan dengan angka sembilan dan SBY. Boleh jadi semua itu cuma kebetulan. Tapi kok ya kebetulan itu berulang.
Buku ini merupakan lanjutan dari kumpulan tulisan Wisnu, wartawan Kompas, yang lima tahun meliput di lingkungan Istana. Buku pertamanya diberi judul Pak Beye dan Istananya, dan dua buku lagi masih dalam proses untuk diterbitkan (menjadi Tetralogi Sisi Lain SBY).
Dengan semboyan mengabarkan yang tak penting agar yang penting tetap penting, melalui blog Kompasiana, Wisnu menuliskan cerita-cerita yang tak termuat di Kompas. Jumlahnya mencapai 442 tulisan.
Selain soal klenik, buku keduanya ini antara lain mengulas perjalanan panjang kampanye SBY merengkuh kursi kepresidenan. Dari situ tergambar betapa SBY melaksanakan kampanye dengan koordinasi yang sangat rapi. Betapa pelaksanaan kampanye dan demokrasi "selalu dahaga akan dana". Perkara dari mana sumber dana yang mahabesar itu? Entahlah.
Pada buku yang pertama, kita mendapat kesan bahwa Istana tak sepenuhnya merupakan tempat sakral dan tertutup. Buktinya, selama lima tahun bertugas di Istana, Wisnu dengan mudah keluar-masuk menggali informasi dan foto-foto yang eksklusif.
Di buku itu, ada 62 cerita, yang dibagi dalam enam bab. Di situ lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya (2000) itu tak cuma bercerita tentang sosok SBY dan keluarga atau para anggota kabinetnya. Tapi juga tentang orang-orang kecil yang sebetulnya berperan besar bagi kelancaran Presiden menunaikan tugasnya. Ada sosok Apiauw, tukang pijat Presiden, dan Ibu Budi, kepala koki Istana. Juga Iwan dan kawan-kawan, yang bertugas memindahkan podium tempat Presiden berpidato dari satu daerah ke daerah lain.
Empati dan kepekaan sosialnya yang tinggi memungkinkan Wisnu menemukan sudut pandang berbeda. Dengan ketajaman jurnalistiknya, hal-hal yang remeh-temeh diolahnya sedemikian rupa menjadi cerita menarik. Juga penting? Soal cerita itu penting atau tidak bagi publik, itu relatif. Wisnu menyiasati hal itu dengan memberi konteks. Di balik penampilannya yang terkesan pendiam, ternyata Wisnu adalah wartawan yang cerdas, jenaka, sekaligus usil.
Boleh dibilang tulisan-tulisan Wisnu dalam kedua buku tersebut memberikan perspektif lain, untuk tidak menyebutnya bertolak belakang dengan isi buku Harus Bisa! Seni Memimpin ala SBY, yang ditulis Dino Patti Djalal. Juru bicara Presiden yang kini menjadi Duta Besar RI di Amerika Serikat itu misalnya menulis, "Yang lain bisa saja berpolitik kotor: SBY tidak. Yang lain bisa menyebarkan isu bohong melalui SMS atau fitnah keji melalui media: SBY tidak. Yang lain bisa bermain politik uang: SBY tidak. Yang lain bisa kampanye hitam: SBY tidak. Yang lain bisa melancarkan politik penghancuran: SBY tidak. Yang lain bisa menyebarkan selebaran gelap: SBY tidak. Yang lain bisa menghalalkan segala cara untuk kekuasaan: SBY tidak." (halaman 178).
Melalui buku yang diterbitkan pada 2008 itu, Dino mencitrakan SBY nyaris bak dewa tanpa cela, termasuk dalam berpolitik. Tapi, lewat kedua bukunya ini, Wisnu memberi kabar kepada kita bahwa kesempurnaan yang tampak itu sebagian merupakan produk pengemasan sedemikian rupa.
AKBAR TRI KURNIAWAN | SUDRAJAT
Judul: Pak Beye dan Istananya
Cetakan: Juli 2010
Tebal: xi + 256 halaman
Judul: Pak Beye dan Politiknya
Edisi: September 2010
Tebal: xxviii + 432 halaman
Penulis: Wisnu Nugroho
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Entah berkat jasa Jawadi dan Yuwono atau cuma kebetulan saja, mendung yang lama menggantung baru berubah menjadi hujan lebat hanya beberapa menit setelah SBY berpidato.
Itulah satu dari 123 cerita yang terhimpun dalam buku Pak Beye dan Politiknya, yang ditulis Wisnu Nugroho. Cerita dengan judul "Kemenyan di Panggung Pak Beye" itu termuat dalam bab ketujuh: Klenik. Meski begitu, pada tulisan-tulisan lainnya sebetulnya Wisnu tak secara vulgar menyebutkan bahwa SBY gemar melakukan klenik atau mempercayai klenik.
Ia misalnya mengutak-atik angka sembilan yang seolah identik dengan sosok SBY. Tanggal lahirnya, yakni 9 September 1949, kemudian dijadikan nomor kotak pos dan SMS di Istana: 9949. Tak cuma itu, Partai Demokrat juga didirikan SBY pada 9 September. Dan pada Pemilu 2009, ada satu operasi pemenangan yang digerakkan oleh tim sembilan. Masih banyak lagi contoh yang diceritakan Wisnu berkaitan dengan angka sembilan dan SBY. Boleh jadi semua itu cuma kebetulan. Tapi kok ya kebetulan itu berulang.
Buku ini merupakan lanjutan dari kumpulan tulisan Wisnu, wartawan Kompas, yang lima tahun meliput di lingkungan Istana. Buku pertamanya diberi judul Pak Beye dan Istananya, dan dua buku lagi masih dalam proses untuk diterbitkan (menjadi Tetralogi Sisi Lain SBY).
Dengan semboyan mengabarkan yang tak penting agar yang penting tetap penting, melalui blog Kompasiana, Wisnu menuliskan cerita-cerita yang tak termuat di Kompas. Jumlahnya mencapai 442 tulisan.
Selain soal klenik, buku keduanya ini antara lain mengulas perjalanan panjang kampanye SBY merengkuh kursi kepresidenan. Dari situ tergambar betapa SBY melaksanakan kampanye dengan koordinasi yang sangat rapi. Betapa pelaksanaan kampanye dan demokrasi "selalu dahaga akan dana". Perkara dari mana sumber dana yang mahabesar itu? Entahlah.
Pada buku yang pertama, kita mendapat kesan bahwa Istana tak sepenuhnya merupakan tempat sakral dan tertutup. Buktinya, selama lima tahun bertugas di Istana, Wisnu dengan mudah keluar-masuk menggali informasi dan foto-foto yang eksklusif.
Di buku itu, ada 62 cerita, yang dibagi dalam enam bab. Di situ lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya (2000) itu tak cuma bercerita tentang sosok SBY dan keluarga atau para anggota kabinetnya. Tapi juga tentang orang-orang kecil yang sebetulnya berperan besar bagi kelancaran Presiden menunaikan tugasnya. Ada sosok Apiauw, tukang pijat Presiden, dan Ibu Budi, kepala koki Istana. Juga Iwan dan kawan-kawan, yang bertugas memindahkan podium tempat Presiden berpidato dari satu daerah ke daerah lain.
Empati dan kepekaan sosialnya yang tinggi memungkinkan Wisnu menemukan sudut pandang berbeda. Dengan ketajaman jurnalistiknya, hal-hal yang remeh-temeh diolahnya sedemikian rupa menjadi cerita menarik. Juga penting? Soal cerita itu penting atau tidak bagi publik, itu relatif. Wisnu menyiasati hal itu dengan memberi konteks. Di balik penampilannya yang terkesan pendiam, ternyata Wisnu adalah wartawan yang cerdas, jenaka, sekaligus usil.
Boleh dibilang tulisan-tulisan Wisnu dalam kedua buku tersebut memberikan perspektif lain, untuk tidak menyebutnya bertolak belakang dengan isi buku Harus Bisa! Seni Memimpin ala SBY, yang ditulis Dino Patti Djalal. Juru bicara Presiden yang kini menjadi Duta Besar RI di Amerika Serikat itu misalnya menulis, "Yang lain bisa saja berpolitik kotor: SBY tidak. Yang lain bisa menyebarkan isu bohong melalui SMS atau fitnah keji melalui media: SBY tidak. Yang lain bisa bermain politik uang: SBY tidak. Yang lain bisa kampanye hitam: SBY tidak. Yang lain bisa melancarkan politik penghancuran: SBY tidak. Yang lain bisa menyebarkan selebaran gelap: SBY tidak. Yang lain bisa menghalalkan segala cara untuk kekuasaan: SBY tidak." (halaman 178).
Melalui buku yang diterbitkan pada 2008 itu, Dino mencitrakan SBY nyaris bak dewa tanpa cela, termasuk dalam berpolitik. Tapi, lewat kedua bukunya ini, Wisnu memberi kabar kepada kita bahwa kesempurnaan yang tampak itu sebagian merupakan produk pengemasan sedemikian rupa.
AKBAR TRI KURNIAWAN | SUDRAJAT
Judul: Pak Beye dan Istananya
Cetakan: Juli 2010
Tebal: xi + 256 halaman
Judul: Pak Beye dan Politiknya
Edisi: September 2010
Tebal: xxviii + 432 halaman
Penulis: Wisnu Nugroho
Penerbit: Penerbit Buku Kompas