Peran Mistik bagi Masyarakat Jawa
Posted by
widodosarono
Labels:
Tanah Jawa
Sastrajendra dikenal luas dalam literatur Jawa sebagai sumber segala kawruh (ilmu) masyarakat Jawa. Kita mengenal berbagai keahlian yang dimiliki orang Jawa, mulai dari sastra, pengobatan, ramalan nujum (perbintangan), pertanian, kelautan, politik, perang, kanuragan (bela diri), membuat senjata, bahkan hingga sirep dan ilmu santet. Bagi orang Jawa, mempelajari keahlian-keahlian tersebut tidaklah melalui belajar di sekolah melainkan dengan laku (tirakat dan tapabrata alias semedi). Istilah “laku” kemudian diadaptasi dalam Bahasa Indonesia menjadi ‘laku-melakukan-dilakukan’. Dengan kata lain, laku tidak diusahakan melalui teori akan tetapi dengan praktek langsung sesuai petunjuk seorang guru. Kehadiran seorang guru memang sangat dominan dalam ajaran mistik.
Serat (ajaran) yang awalnya ditulis oleh R. Ng. Ronggowarsito lalu digubah oleh R. Ng. Sindusastra tersebut, merupkan karya klasik yang bernuansa mistik (kebatinan). Secara umum serat Sastrajendra berisi tentang ajaran ketuhanan, alam semesta, manusia dan kesempurnaan hidup. Dalam cerita pewayangan pun disebutkan, jika buta mampu menguasai Sastrajendra maka akan berubah jadi manusia sementara manusia yang menguasai Sastrajendra akan menjadi dewa. Demikian ampuhkawruh tersebut sehingga orang Jawa meyakini bahwa awalnya Syeh Sitijenar adalah seekor cacing dalam sebuah perahu yang digunakan untuk mewisuda Sunan Kalijaga menjadi waliyullah. Secara tidak sengaja, cacing tersebut menangkap ajaran sang sunan sehingga berubah menjadi manusia.
Mistik pada dasarnya, merupakan ajaran kesempurnaan hidup yang menekankan aspek batiniah, yakni dengan mensucikan diri dari unsur-unsur duniawi maka seseorang akan memperoleh anugerah dari Tuhan. Laku mensucikan diri tersebut dapat diwujudkan melalui berbagai cara, antara lain: 1) Tapa jasad, yaitu ikhlas terhadap takdir; 2) Tapa budi, yakni menghindari perbuatan hina; 3) Tapa nafsu, yaitu menghindari nafsu angkara; 4) Tapa cipta, yaitu menjaga kesucian hati; 5) Tapa sukma, yakni menjaga keheningan hati; 6) Tapa cahya, yaitu menjaga eling (ingat kepada Tuhan), awas dan waspada; 7) Tapa gesang, yaitu menjaga kesempurnaan hidup. Ketujuh stratifikasi laku tersebut terbabar dalamserat Sastrajendra Hayungingrat Pangruwating Diyu (Sastrajendra pengruwatan nafsu angkara).
Mistik vs Ilmu Modern
“Mistik itu irrasional” itulah pendapat pengkaji-pengkaji keilmuan modern yang mendewakan rasionalitas. Sepintas argumentasi tersebut tak dapat disangkal, namun kita perlu mengingat bahwaRenaisance (aufklarung di Eropa) sebagai cikal-bakal munculnya ilmu modern (sains dan teknologi) memang diciptakan untuk memisahkan antara agama (batiniah) dan dunia (lahiriah). Kejayaan ilmu modern terjadi setelah August Comte menggagas Positivisme, bahwa ilmu modern harus didasarkan atas penelitian ilmiah (prinsip verifikasi) yang bersifat rasional dan empiris (inderawi lahiriah). Pemahaman tersebut berkembang begitu pesat dan diganderungi oleh seluruh ilmuwan di muka bumi, termasuk di Indonesia. Sebagai akibatnya, agama, seni, nilai (value) dan seluruh aspek kehidupan yang irrasional dan non-empiris tidak bisa lolos dari verifikasi. Para pemikir postmo (baca: Postmodernisme) bersepakat bahwa ilmu modern tidak pernah memanusiakan manusia.
Irrasionalitas mistik memang ada benarnya, sebab sebagian pengalaman mistik terjadi begitu saja tanpa dapat dirasionalisasi. Sejauh pemahaman saya, meskipun pengalaman mistik tidak bisa dirasionalisasi namun bukan berarti tidak masuk akal. Selama masih dapat dipahami, berarti masuk akal sebab hanya melalui akallah manusia memahami. Secara teoritis, akal dapat diposisikan sebagai 2 hal; yakni sebagai proses pengetahuan dan sebagai sumber pengetahuan. Sebagai proses pengetahuan, akal bertugas melakukan olah data (verifikasi) atas segala informasi yang masuk (sumber pengetahuan). Sementara di sisi lain, akal pun dapat berfungsi sebagai sumber pengetahuan alias menginspirasi suatu gagasan rasional. Namun kenyataannya sumber pengetahuan manusia tidak melulu akal, sebab pengalaman hidup, ceramah, diskusi, membaca koran, melihat pemandangan dan sebagainya dapat dijadikan sebagai sumber informasi. Akal menampung informasi-informasi tersebut kemudian mengolahnya berdasarkan alur berpikir keilmuan tertentu. Dan sayangnya pisau analisis keilmuan kita terlalu miskin sehingga pengalaman mistik tidak dapat dirasionalisai. Hal itu terjadi bukan karena mistik tidak berguna, namun karena ilmu modern telah membatasi diri.
Jauh sebelum Renaisance gempar, seorang filsuf muslim generasi awal, Ibn Sina, mengemukakan bahwa manusia memiliki 2 indera, yaitu indera lahiriah dan indera batiniah. Indera lahir berfungsi untuk meneliti fenomena-fenomena material (lahiriah) sementara indera batin berguna untuk menangkap pengalaman-pengalaman batin (mistik). Indera batiniah itulah yang semenjak awal digunakan masyarakat Jawa untuk mengembangkan Kebatinan (mistik Jawa). Berdasarkan konsep Kebatinanitulah masyarakat Jawa membangun peradabannya, sisa-sisanya masih dapat dirasakan hingga kini.
Praktek Mistik Dewasa ini
Meskipun ilmu modern berkembang demikian pesat, bukan berarti masyarakat Jawa rela meninggalkan tradisi mistik. Peristiwa meletusnya Gunung Merapi tahun lalu misalnya, demikian pula dengan pemilihan walikota 25 September besok, rasanya kurang sreg bila masyarakat Jogja sampai lupa melihat sisi mistiknya. Tidak hanya sampai situ, kegiatan kecil keseharian –terutama masyarakat pedesaan— pun tidak luput dari lensa teropong yang satu ini. Bersih desa, hajatan manten, kenduren, slametan, ruwatan, ziarah kubur, tahlilan, manaqiban, tarekat (thoriqoh) dan sebagainya merupakan contoh-contoh praktek mistik yang terus berlaku hingga dewasa ini. Bahkan sebagian kawan-kawan saya di desa secara rutin melakukan olah batin dengan mengunjungi makam-makam ulama (keramat), mandi malam di sungai, puasa (ndawud, mutih, ngebleng dan patigeni) sementara yang muslim dengan menggalakkan dzikir dan istigotsah secara rutin. Semua kegiatan tersebut diupayakan demi tujuan-tujuan tertentu, entah mencari jodoh, penglaris, kekayaan, keahlian pengobatan, kewibawan, kekuatan magis dan sebagainya.
Bisnis jasa mistik pun masih banyak diminati, bahkan telah merambah dunia maya. Biro-biro jasa tersebut dikenal sebagai dukun. Setiap “pasien” yang datang akan dikenai mahar (tarif tertentu), sesuai dengan bobot kebutuhannya. Sekedar konsultasi, membuka aura, meminta jimat penglarisan, mengobati penyakit, hingga bantuan menghabisi nyawa seseorang (santet). Setiap biro biasanya hanya membuka pelayanan tertentu sesuai dengan keahlian masing-masing. Misalnya, biro pengobatan hanya melayani pengobatan, tidak untuk jimat penglaris apalagi santet. Sementara biro santet hanya melayani jasa santet-menyantet, untuk urusan lain angkat tangan.
Beberapa ulama (fiqh) menilai tindakan tersebut sebagai syirik (sesat), sebab menggantungkan kontrak kerja dengan makhluk gaib (bangsa jin). Namun bagaimana kita mengetahui sedang bekerja sama dengan jin, sementara malaikat dan Tuhan pun sama-sama gaibnya? Terlepas dari teka-teki pelik tersebut, kita hendak menyimpulkan bahwa semua itu merupakan bagian dari ajaran Kebatinan (mistik Jawa). Mistik memang memiliki 2 sisi yang berbeda, yakni duniawi dan ukhrawi (ilahiah). Artinya, jalan mistik dapat dimanfaatkan untuk tujuan duniawi maupun tujuan mencari akhirat. Manakah yang lebih benar dan bermanfaat, semua tergantung masing-masing yang menilainya.