Masalah seksualitas adalah hal yang
senantiasa diperbincangkan dan diperdebatkan dalam kesusasteraan
Indonesia. Gunawan Mohamad menyatakan bahwa dalam kesusasteraan
Indonesia modern ada semacam sikap berhati-hati, semacam pretensi yang
dipersiapkan baik-baik untuk tidak menyinggung masalah seksual dalam
kehidupan percintaan. Sikap seperti itu tampak sebagai kecenderungan
umum dari sejumlah besar hasil sastra Indonesia modern.
Hal tersebut sangat bertolak belakang
bila dibandingkan dengan kondisi yang terdapat dalam karya sastra lama.
Dalam karya sastra lama penggambaran seksual berkembang sedemikian rupa
hingga keberahian terlukis secara wajar, menyenangkan dan indah. Kondisi
tersebut terjadi karena karya sastra hanya dibaca oleh suatu lingkungan
yang terbatas. Pengarang sastra lama memiliki khalayak homogen yang
lebih toleran terhadap penggambaran seksual. Tampaknya ada perasaan aman
dari gangguan perubahan, serta rasa pasti tentang diri sendiri.
Sementara itu para pengarang Indonesia modern dihadapkan pada posisi
serba terjepit di tengah-tengah masyarakat heterogen yang disatu pihak
memiliki rasa ingin tahu (tentang seks) dan di pihak lain ada tabu-tabu
defensif (Mohamad,1981: 1, 12).
Bertolak dari pernyataan Gunawan Mohamad
tentang masalah seksualitas dalam kesusasteraan Indonesia tersebut,
menarik rasanya untuk menyimak seksualitas dalam khazanah sastra Jawa
Klasik yang merupakan bagian dari karya sastra lama di Nusantara ini.
Pengertian sastra Jawa Klasik dalam hal ini adalah, sastra yang ditulis
pada masa lampau serta menggunakan bahasa daerah, terutama sebelum
diresmikannya pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Kesusasteraan Jawa, sebagaimana kesusasteraan daerah lain yang
diciptakan pada masa lalu dan menggunakan bahasa daerah, disebut sebagai
kesusasteraan tradisional atau Klasik (Robson, 1994: 4).
Di dalam karya-karya sastra Jawa Klasik – terutama yang digolongkan sebagai karya susastra (belles-lettres) – hal
yang berkaitan dengan seksualitas hampir selalu disajikan dan memainkan
peranan yang cukup penting. Seksualitas dianggap sebagai salah satu
aspek dari konsep keindahan dalam sebuah karya atau merupakan salah satu
unsur yang membangun struktur naratif sebuah teks. Untuk memperoleh
gambaran tentang seksualitas dalam karya sastra Jawa Klasik secara
keseluruhan, terlebih dahulu akan dibahas mengenai karya sastra Jawa
dari periode yang paling awal, yaitu karya sastra Jawa Kuno.
Menurut Th.Pigeaud dalam bukunya Literature of Java (Pigeaud,
1967: 4-6) sastra Jawa Klasik diperkirakan telah ada sejak masa
pra-Islam, yaitu pada tahun 900 Masehi. Karya sastra tersebut
digolongkan pada kesusastraan Jawa Kuno. Karya sastra yang dihasilkan
pada masa tersebut dibuat oleh para penyair yang berada di lingkungan
kerajaan. Seorang penyair Jawa Kuno (Kawi) merupakan anggota
kelompok profesional di lingkungan keraton di Jawa yang telah melalui
pendidikan kesusastraan, khususnya mengenai puisi. Pada masa itu para kawi
tersebut tinggal di keraton tetapi mereka bukan anggota keluarga raja
atau keluarga bangsawan.
Mereka termasuk kalangan pejabat, petugas, dan
hamba yang mengelilingi raja. Diperkirakan para kawi tersebut
mempelajari bahasa Sanskerta dan mengembangkan kesusastraan Jawa Kuno.
Adapun karya-karya sastra yang dikembangkan pada masa itu antara lain
adalah teks Parwa yang ditulis dalam bentuk prosa, dan Kakawin yang
dikemas dalam bentuk tembang. Kedua jenis karya sastra tersebut sangat
dipengaruhi oleh kesusastraan India. Sastra Parwa merupakan prosa yang
diadaptasi dari bagian epos-epos dalam bahasa Sanskerta. Sementara
Kakawin, adalah karya yang ditulis dalam bentuk puisi naratif yang
menggunakan kaidah-kaidah puitika India. Istilah Jawa Kuno Kakawin
merupakan padanan dari kata Sanskerta Kāvya. Kaidah-kaidah metris yang digunakan dalam Kakawin pun sama dengan kaidah-kaidah yang digunakan dalam persajakan Sanskerta (Kāvya) (Zoetmulder, 1985: 80,120).
Isi teks yang terkandung di dalam
karya-karya sastra Jawa Kuno, khususnya Kakawin, memiliki persamaan
dengan struktur naratif yang merupakan kaidah di dalam Kāvya. Struktur naratif Kakawin terdiri dari satuan-satuan naratif, yang masing-masing mempunyai kategori isi tertentu, antara lain:
- Pujaan pembukaan (aśir).
- Rangkaian: perundingan (mantra), utusan (dūta), keberangkatan pasukan (prāyaņa), pertempuran (aji) dan kemenangan sang pahlawan (nayakābhyudaya).
- Pujian pada sang pahlawan (nāyaka).
- Lukisan alam: pegunungan (śaila), laut (arņawa), kota (nagara).
- Musim (ŗtu),terbitnya bulan (candrodaya).
- Permainan: di taman (udyānakrīda).
- Ajaran.
- Percintaan: rasa asmara (śŗňgārarasa), ulah cinta penuh kesenangan (sambhogaśŗʼngāra), kesedihan karena perpisahan atau penolakan (vipralambha).
- Akhir yang menyenangkan (ŗdhimat)
(Wiryamartana, 1987: 660)
Dari sejumlah satuan naratif yang tertera
di atas, jelas bahwa percintaan adalah bagian atau unsur satuan naratif
yang harus disajikan di dalam sebuah Kakawin di samping unsur-unsur
lainnya. Unsur percintaan dalam Kakawin disajikan melalui berbagai cara.
Misalnya melalui pencitraan tentang bentuk fisik tokoh-tokohnya
khususnya keindahan tubuh wanita serta deskripsi tentang adegan
percintaan antara sepasang kekasih yang dijelaskan dengan terperinci dan
detil.
Dalam perkembangannya kemudian, karya
sastra Jawa Kuno tidak hanya muncul dalam bentuk puisi naratif Kakawin,
tetapi juga dalam bentuk puisi lirik (Kakawin lirik) yang disebut Bhāşa.
Kakawin lirik tersebut diperkirakan muncul pada masa runtuhnya
kerajaan Majapahit yaitu pada era yang oleh Pigeaud disebut sebagai masa
Javanese-Balinese pada tahun 1500 Masehi. Pada masa itu pengaruh
raja-raja di Jawa Timur terhadap Bali sangat besar. Kesusastraan Jawa
Kuno yang berpusat di kerajaan-kerajaan di Jawa mendapat tempat yang
istimewa di Bali (Pigeaud, 1967: 5). Karya sastra Jawa Kuno senantiasa
disalin dan disimpan dengan baik di Bali. Diperkirakan pada abad ke-16
dan 17 raja-raja Gèlgèl dan Klungkung di Bali Selatan melanjutkan
tradisi Kakawin Jawa Kuno dan kemudian mengembangkannya dengan
menampilkan karakteristiknya sendiri.
Tradisi penulisan Bhāşa tersebut
merupakan salah satu contoh dari kelanjutan tradisi Kakawin yang telah
mengalami penyimpangan atau perubahan sehingga memperlihatkan
kekhasannya sendiri. I Made Suparta dalam penelitiannya tentang sebuah
teks Bhāşa Kakawin Haňaŋ Nirartha, menyatakan bahwa teks tersebut merupakan sebuah sub-genre dalam Kakawin. Secara umum teks Bhāşa Kakawin
Haňaŋ Nirartha (untuk selanjutnya disingkat dengan KHS) ditulis
mengikuti kaidah-kaidah puitik dan estetik Kakawin yang berasal dari Kāvya Sanskerta. Namun secara eksplisit teks Bhāşa KHS memperlihatkan perbedaan mendasar jika dilihat dari segi:
- Situasi bahasanya yang berupa monolog “aku lirik”.
- Isi abstrak yang bukan puisi naratif sebagaimana lazimnya sastra Kāvya, melainkan berupa puisi lirik.
- Tematik teks Bhāsa KHS yang bukan lagi tentang epik atau wira-rasa, melainkan penggambaran rindu asmara (Śrěŋgara-rasa) yang ditulis berupa sebuah Wilāpa (puisi ratapan cinta, sebuah Ode dewa keindahan: Kama.)
- Pragmatik teks yang kaya dengan ungkapan liris-erotis-religius.
- Struktur formal teks yang terdiri atas 5 bab dan bentuknya sangat pendek.
(Suparta, 2004: 198)
Dari pernyataan di atas, tampak bahwa
unsur percintaan dan penggambaran rindu asmara berupa puisi ratapan
cinta (Wilāpa) merupakan hal yang esensial dalam teks Bhāsa KHS.
Gambaran akan hal ini tersebar pada semua pupuh (tembang) yang terdapat
di dalam teks. Berikut ini adalah beberapa contoh penggambaran rindu
asmara tersebut:
Pupuh I, bait ke-6.
Āh saŋ tansah i cittan iŋ ŋwaŋ alaŋő kawěkas I raras iŋ karāsikan/
ndak was-was iŋ aśoka pādapa těŋahta malarīs aŋlih pinaŋkwakĕn/
Saŋ muŋgw iŋ kĕtĕr riŋ patěr tinilar iŋ śasih kětěr I rěŋihta ri jiněm/
Luŋhāku n kita kār <i> śoka sahajānaŋisi ri tulis iŋ pudak lěŋőŋ//
Terjemahan :
Ah dikau selalu berada dalam pikiranku, dan dikala mengarang (selalu) terbayang) indahnya di peraduan (bersamamu)/
di pucuk-pucuk bunga asoka seperti kulihat pinggangmu yang ramping menjelma di pangkuanku/
dikau juga berada dalam suara halilntar yang ditinggal oleh rembulan, (demikian) jerit tangismu di peraduan/
waktu kutinggal pergi betapa engkau bersedih, dan tangismu senantiasa tersurat dalam indahnya bunga pudak//
Pupuh I bait 10
Māskw-induŋ hělěm iŋ dadiŋku dadi mā-stawa ri maŋi patěhta riŋ ajőŋ/
Sampun ŋganya ukurnya madhya ni tuhanku kalulut ika ratna kānyaka/
Yan k<a>lanta haneŋ dalěm śayaņa maŋli(ga)-liga rari kesisan (h)ulěs/
Ndak tonton gěmuh iŋ susunta hariŋě-tnyan inusapan I luŋhid iŋ kukŭ//
Terjemahan :
Kekasihku, permataku, kelak dalam penjelmaanku biar kumenjadi anggur cinta asmara yang patuhi kehendakmu/
Rupanya setelah kucoba merangkul pinggangmu, kasihanilah aku olehmu permataku/
Dan kala malam telah tiba, di ranjang dikau membuka lepas kainmu/
Ku ingin melihat betapa montoknya payudaramu yang berkeringat (karena) diremas oleh kuku yang tajam//
Pupuh XV bait 2
Kepwan twaskw am <a> lar-sih amrih aŋusir raras i manis i raśm<i> nitya manilib/
Aŋhiŋ sihta lan<a>tuhankw ibu pilih kapiwělasana kapriyan kita hiner/
Āh dyah ndi ŋwaŋ(ŋ) anis sakali-hana riŋ pasir-acala rikāŋikět-kuŋ inaměr/
Sa tansah ri hatiŋkw i nāpti caraņeŋ swmara saphala mahe kasih-sihan āwor//
Terjemahan:
Betapa malunya hatiku mengharap kasih, coba merengkuh kecantikanmu di ranjang dengan selalu menyelinap/
Tetapi cintamu sayangku, selalu mengharap belai kekasihmu yang engkau nantikan/
Ah dindaku, kapan aku pergi diam-diam berduaan ke gunung dan ke pantai (laut) untuk menggubah keindahan mendulang cinta/
Dikau yang tiada terpisahkan dari hatiku (selalu) diingini dalam memuja Dewa Kama agar menyatu kasih yang menyenangkan//
Lukisan erotis seperti tampak dalam contoh-contoh teks Bhāşa di
atas merupakan ciri yang membentuk wacana Kakawin Lirik. Menurut
Suparta ungkapan-ungkapan lirik erotis yang terdapat dalam teks Bhāşa Kakawin Haňaŋ Nirartha dilandasi oleh konsep estetis-religius yang berkaitan dengan ajaran Yoga-Tantris. Menurut pandangan Yoga-Tantris, lubuk hati seorang yogi (penyair) yang disebut padma-hrědaya merupakan tempat Sang Dewa yang bersifat sakala-niskala. Penciptaan sastra Kakawin pada pokoknya adalah ekspresi dari lubuk hati (padma-hrědaya) sang penyair yang paling dalam, sehingga wacana kakawin (yang bersifat erotis) menjadi cara pemujaan kepada dewa pujaannya (Işţadewata) dalam hal ini pemujaan pada Dewa Kama (Suparta, 2004: 272).
Pada masa yang hampir bersaman dengan
munculnya Kakawin Lirik, yaitu pada abad ke-15 dikenal pula jenis karya
sastra yang dikemas dalam bentuk Kidung. Karya sastra Kidung tidak
ditulis dalam metrum Kakawin yang berasal dari Kāvya Sanskerta, India, melainkan dari Jawa. Menurut Zoetmulder, metrum Kidung disebut juga metrum těŋahan dan prinsip dasarnya sama dengan metrum dalam puisi Jawa Klasik yang sekarang kita kenal sebagai macapat
(Zoetmulder, 1985: 142).
Sebagaimana Kakawin, latar tempat dalam Kidung
juga berkisar pada lingkungan istana. Akan tetapi tokoh-tokoh yang
disajikan di dalam Kidung bukan tokoh-tokoh yang diambil dari epos
India. Tokoh-tokoh utamanya berasal dari lingkungan keraton di kerajaan
Daha dan Kediri. Nama tokoh pahlawan yang digunakan, seperti Panji
misalnya, sebenarnya adalah gelar pangeran yang digunakan pada abad
ke-14 dan 15 di kerajaan Majapahit (Pigeaud, 1967: 206).
Diantara sejumlah jenis karya sastra
Kidung, terdapat karya-karya yang digolongkan sebagai kelompok Cerita
Panji. Kelompok cerita ini mempunyai tema cerita yang sama yaitu
percintaan, serta pola cerita yang juga kurang lebih sama, yaitu
pernikahan antara putra mahkota Koripan (Raden Panji atau Raden Ino)
dengan putri Daha (Raden Galuh). Pada awal cerita mereka sudah
bertunangan, akan tetapi sang putri menghilang, dan Raden Panji pergi
untuk mencarinya. Semua cerita berakhir dengan kedua kekasih saling
mengenali kemudian bertemu kembali, dan diakhiri dengan pesta
pernikahan. Hal yang menarik dari cerita Raden Panji dengan Raden Galuh
ini adalah kisah tentang perjalanan Raden Panji dalam usahanya mencari
putri Daha tersebut. Dalam perjalanannya mencari Raden Galuh, Panji
terlibat dalam percintaan dengan beberapa putri. Kisah petualangan
asmara tokoh Panji tersebar dan mendapatkan porsi yang cukup besar
dibandingkan dengan kisah peperangan yang ada di dalam cerita.
Berikut adalah contoh-contoh adegan
asmara dan penggambaran tentang keadaan alam yang diasosiasikan dengan
tubuh wanita. Contoh-contoh berikut diambil dari salah satu karya yang
digolongkan sebagai cerita Panji, yakni teks Waŋbaŋ Wideya yang telah disunting oleh Robson.
Canto 3.Bait 157 b.
Saha wacanānraŋ gěndis dyah saŋ pawakniŋ
sasih purnamaniŋ Kartikamasa raras-raras rumira aŋěmu lulut lah ta
sanmatanana kakanta rasmintěŋ sayana saŋ dyah malih lagy apaŋgil sinrěŋ
sampun kawawa lukariŋ tapih rosnikaŋ madyāŋde rěs mar//
Terjemahan:
Dengan kata-kata semanis gula, “oh wanita
yang bagaikan purnama penuh bulan Kartika, pesonamu dipenuhi oleh
keelokan. Mari, perkenankan daku menikmati kesenanganmu di peraduan”.
Sang gadis mundur dengan malu-malu, namun Makaradwaja (Panji) tetap
memaksa dan (akhirnya) sang gadis tak berdaya.
Ketika kainnya tersibak, pinggangnya yang ramping (tampak) dan membuat Makaradwaja lemah perasaannya.
Canto 1.Bait 94 b.
Sumrak rum sěkariŋ syama lwir gandaniŋ siňjaŋiŋ istri sah sakiŋ paněpi wuluh dantanyā ŋěsah kumisik//
Terjemahan:
Harumnya bunga Syama semerbak
bagai wewangian kain wanita yang (sedang) meluncur terlepas dari
pinggangnya, dan bambu gading menghela napas, menggemerisikkan
daun-daunnya.
Bait 95 a.
Wwahniŋ nyudanta kadi nurojaniŋ dyah
keny-eni rosniŋ pětaŋ danta lwir těŋah aŋligěŋ jiněm rum ketaka kumucup
kadi wentis kesisan taŋ saŋga-laŋit yaya kesarya muryāwra riŋ tilam
sěkarikaŋ srigadiŋ yaya wajāŋisis sinuŋ sěpah riŋ parěman//
Terjemahan:
Buah-buah kelapa gading bagai payudara gadis, dan pětaŋ gading bagai pinggang (gadis) yang tergolek tanpa penutup di tempat tidurnya. Kuncup bunga pudak bagai betis gadis yang terbuka. Sulur (tanaman) saŋga-langit bagai rambut gadis yang terurai di bantal, dan bunga Srigadiŋ berwarna putih bagai giginya yang tampak ketika diberi sirih di peraduannya.
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa
gambaran tentang tokoh dan keadaan alam dalam cerita Waŋbaŋ Wideya
disajikan dengan sangat romantik dan erotik. Cara penyajian tentang
percintaan sebagaimana halnya Kakawin masih terasa pengaruhnya di dalam
teks tersebut. Unsur-unsur seperti rasa asmara, ulah cinta, dan
kesedihan karena perpisahan atau penolakan digambarkan dengan penuh
keindahan dan dilukiskan secara rinci. Keindahan alam, kecantikan, atau
ketampanan tokoh-tokohnya senantiasa dikaitkan pada Dewa Kama sebagai
Dewa Asmara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep keindahan
Kakawin ternyata masih terasa dalam Kidung Panji Waŋbaŋ Wideya.
Jenis karya sastra Jawa Klasik lainnya
yang muncul setelah Kakawin Naratif, Kakawin Lirik ,dan Cerita Panji
(Kidung) masih cukup banyak. Para pengarang Jawa pada abad ke-19
misalnya, menulis sejumlah cerita novel dan puisi yang berlatar belakang
sejarah untuk memberikan kesan informasi yang dapat dipercaya tentang
daerah atau kerajaan yang disajikan dalam cerita (Pigeaud, 1967: 258).
Dalam cerita-cerita semacam ini unsur fiksi yang disajikan lebih besar
dibandingkan unsur sejarahnya. Salah satu contoh dari karya yang
termasuk dalam jenis ini adalah Serat Pranacitra-Rara Mendut. Pigeaud
memperkirakan serat Pranacitra-Rara Mendut digubah oleh Yasadipura II,
seorang pujangga keraton pada abad ke-19. Cerita ini berlatarkan
kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung. Serat
Pranacitra-Rara Mendut pada dasarnya adalah cerita yang bertemakan
percintaan, oleh karenanya banyak sekali bagian cerita yang digambarkan
secara romantik sekaligus erotis. Gambaran tentang tokoh utama wanita
Rara Mendut, misalnya, adalah gambaran fisik atau tubuh yang terperinci
dan jelas.
Karya sastra Jawa Klasik lainnya yang
juga memuat masalah asmara dalam penyajiannya adalah karya sastra
yang digolongkan sebagai Babad. Jenis karya ini di samping mengandung
unsur-unsur sejarah, genealogi, dan mitologi, juga mengandung unsur
fiksi. Sebagai sebuah karya fiksi, karya sastra Babad tidak terhindar
dari masalah percintaan sebagai bagian dari kehidupan manusia, walaupun
masalah asmara tersebut tidak selalu muncul pada setiap karya sastra
Babad. Ada beberapa Babad yang cukup panjang mengisahkan tentang
percintaan, tetapi ada pula sejumlah Babad yang “hanya menyisipkan”
bagian percintaan dalam bentuk adegan atau episode pendek. Babad Prayud,
misalnya, dalam beberapa pada (bait) ceritanya menyisipkan kisah tentang hubungan asmara incest
antara seorang ibu dengan putranya.
Bila dibandingkan dengan Kakawin
atau Kidung, penyajian kisah asmara dalam Babad memang porsinya sangat
kecil. Akan tetapi tidak berarti bahwa pengungkapannya tidak erotis.
Ungkapan-ungkapan yang erotis tersebut pada umumnya digunakan untuk
melukiskan keindahan tubuh wanita dan adegan yang menggambarkan tentang
ulah asmara.
Secara umum dapat dikatakan bahwa
kesusastraan Jawa Klasik sejak periode Kakawin hingga Babad tidak
terlepas dari kisah asmara atau percintaan yang diungkapkan secara
erotis. Dalam periode Kakawin dan Kidung pengungkapan unsur seks
merupakan bagian dari konsep keindahan dalam karya sastra, adapun
pengungkapan keindahan dalam karya sastra dapat diartikan sebagai
pemujaan sang pengarang terhadap Dewanya.
Pada periode yang lebih baru,
pengungkapan unsur seks dalam karya sastra Jawa Klasik masih dianggap
sebagai salah satu unsur keindahan yang perlu disajikan. Pada periode
ini pengungkapan unsur seks dalam karya sastra Jawa Klasik tidak lagi
diartikan sebagai pemujaan pengarang bagi sang Dewa. Pengungkapan seks
lebih dianggap sebagai hal yang alami yang memang ada di sekeliling
kita, yang wajar dan pantas untuk dikemukakan. Karya yang paling tepat
yang dapat dipakai sebagai contoh untuk melihat adanya konsep tersebut
adalah karya populer Serat Centhini.
Teks Serat Centini adalah karya sastra
Jawa Klasik yang ditulis pada masa pemerintahan Paku Buwana V di
Surakarta. Teks ini digubah oleh pujangga kraton Yasadipura II dalam
bentuk Macapat. Secara garis besar teks ini menceritakan tentang
perjalanan para santri yang berkelana. Selama perjalanan tersebut
dibahas tentang banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia dan
agama (Islam). Hal yang menarik dalam cerita ini adalah adanya
pengungkapan unsur seks, baik berupa ajaran, maupun yang disajikan
sebagai bagian dari struktur naratif. Pengungkapan unsur-unsur seks
tersebut disajikan di dalam teks berdampingan dengan berbagai ajaran
yang berkaitan dengan agama (Islam). Sangat mengherankan bahwa teks
tersebut justru cukup populer di kalangan khalayak pembaca karya sastra
Jawa Klasik pada masa itu. Padahal bila kita perhatikan, keadaan
tersebut mungkin sulit untuk diterima oleh masyarakat pembaca karya
sastra Indonesia modern pada masa sekarang ini.
Berkaitan dengan masalah tersebut kiranya
perlu dilihat lebih jauh apakah yang melatarbelakangi hal tersebut.
Untuk memahami hal tersebut kita harus melihat kembali kepada komunitas
pengarang dan penikmat karya sastra Jawa Klasik yang telah ada sejak
dari masa Jawa Kuno. Berdasarkan sumber-sumber tertulis yang terdapat
dalam karya sastra Jawa Klasik pada masa Jawa Kuno, sebagaimana yang
telah diutarakan pada bagian awal tulisan ini, seorang penyair atau
penulis – yang biasanya adalah seorang pria – hidup dan bekerja di
lingkungan istana, walaupun ia bukan keluaraga raja atau bangsawan. Ia
tinggal di istana sebagai pegawai yang selalu berada di sekeliling raja.
Para penyair tersebut adalah kelompok profesional yang telah mengalami
pendidikan kesusastraan. Mereka memperdalam pengetahuannya mengenai
bahasa Sanskerta dan mengembangkan kesusastraan Kakawin. Sebenarnya di
samping kelompok penyair istana, masih ada kelompok penulis yang berada
di pusat-pusat keagamaan (mandala) akan tetapi tampaknya keahlian mengenai Bahasa Sanskerta dan kesusastraan para kawi di lingkungan kraton lebih baik dari penulis di pusat keagamaan.
Kelompok elit penyair istana seperti pada
masa Jawa Kuno tersebut ternyata tetap ada pada masa-masa selanjutnya.
Pada abad ke-19 di Surakarta, misalnya, para penyair atau pujangga
adalah pegawai istana yang diberi tugas untuk menggubah atau menyalin
kembali karya-karya sastra Jawa Klasik atas perintah sang raja.
Sebagaimana para penyair pada masa Jawa Kuno sebelumnya, pujangga pada
masa Surakarta adalah orang-orang terdekat yang berada di sekeliling
raja. Karya sastra yang dihasilkan oleh para pujangga tersebut kemudian
dibaca dan diapresiasi oleh khalayak di lingkungan istana. Jumlah
masyarakat yang termasuk dalam kelompok ini tidak banyak, oleh karena
itu dapat dikatakan bahwa orang yang dapat memahami karya sastra Jawa
Klasik dengan baik sangat terbatas jumlahnya. Masyarakat yang berada di
luar keraton seperti masyarakat petani di pedesaan, misalnya, tidak
memahami karya sastra Jawa Klasik dengan baik. Mengenai hal ini Gunawan
Mohamad menyatakan bahwa karya-karya sastra lama dibaca oleh kalangan
terbatas (di dalam tembok keraton) dengan tingkat persiapan jiwa yang
sudah memperoleh bentuk, dan yang reaksinya sudah dapat diduga (Mohamad,
1981: 3).
Kalangan elit penikmat karya sastra seperti Serat Centhini tersebut selain terbatas dan homogen, juga berasal dari kalangan priyayi
di lingkungan keraton yang pada saat itu adalah orang-orang yang
berkecukupan. Mereka memiliki kesempatan yang luas untuk membaca,
membahas, dan berusaha memahami keindahan karya-karya tersebut (termasuk
toleran terhadap pengungkapan unsur seks yang ada di dalamnya) tanpa
harus bersusah payah bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan demikian dapat dipahami mengapa
Serat Centhini yang membicarakan tentang masalah seks secara lugas dan
berdampingan dengan masalah agama dapat diterima oleh khalayak
pembacanya (di kalangan yang terbatas tersebut) dan bahkan termasuk
karya sastra Jawa Klasik yang populer pada zamannya.
Kemudian, bagaimanakah sikap kita
sekarang ini sebagai pembaca terhadap karya-karya sastra Jawa Klasik
yang sejenis dengan Serat Centhini, misalnya ? Untuk menyikapi hal
tersebut kiranya seorang pembaca masa kini harus menyadari bahwa dirinya
berhadapan dengan karya sastra Jawa Klasik yang dihasilkan dari masa
lampau. Karya sastra dari masa yang sangat jauh berbeda. Sebuah karya
sastra dari masa lampau haruslah dilihat dalam konteks zamannya. Oleh
karenanya bila terdapat pengungkapan unsur seks dalam teks sastra dari
masa lampau, misalnya, tidak dapat begitu saja kita “baca” dengan
menggunakan sistem nilai yang ada pada masa kini. Pembaca modern
seharusnya berusaha atau dapat memahami pikiran, gagasan, perasaan, dan
kepercayaan penulis yang melahirkan karya sastra pada suatu masa
tertentu. Karena hal-hal itulah yang melandasi pembuatan sebuah karya
sastra. Barangkali hanya dengan cara itulah pembaca modern dapat
berkomunikasi dengan orang-orang pada abad-abad yang lampau.
Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia, Depok
Daftar Pustaka
Mohamad, Gunawan. 1981. Seks, Sastra, Kita. Jakarta: Sinar Harapan.
Pigeaud, Th.P. 1967. Literature Of Java.Vol.I. The Hague: Martinus Nyhoff.
Robson, S.O.1971. Waŋbaŋ Wideya. A Javanese Panji Romance. The Hague: Martinus Niyhoff.
_______. 1994. Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: RUL.
Suparta, I Made. 2004. Teks Bhāşa Kakawin Haňaŋ Niratha. Jakarta: Tesis Magister FIBUI
Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Penerbit Djambatan
Wiryamartana, I.Kuntara. 1987. Kakawin Arjunawiwāha. Yogyakarta: UGM Press.