Definisi fraktur
Fraktur
atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma
yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung, misalnya
benturan pada lengan bawah yang menyebabkan fraktur radius dan ulna, dan
dapat berupa trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan
yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.
Akibat
trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan, dan arahnya.
Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat
menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang
disebut fraktur terbuka. Fraktur di dekat sendi atau mengenai sendi
dapat menyebabkan fraktur disertai luksasi sendi yang disebut fraktur
dislokasi.
Klasifikasi Fraktur
Secara
umum, fraktur dapat dibagi menjadi 2, berdasarkan ada tidaknya hubungan
antara tulang yang fraktur dengan dunia luar, yaitu fraktur tertutup
dan fraktur terbuka. Disebut fraktur tertutup apabila kulit di atas
tulang yang fraktur masih utuh. Tetapi apabila kulit di atasnya
tertembus maka disebut fraktur terbuka, yang memungkinkan kuman dari
luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah.
Fraktur terbuka dibagi menjadi 3 derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan berat ringannya fraktur.
Derajat
|
Luka
|
Fraktur
|
I
|
Laserasi < 2 cm
|
Sederhana, dislokasi fragmen minimal
|
II
|
Laserasi > 2 cm, kontusio otot di sekitarnya
|
Dislokasi fragmen jelas
|
III
|
Luka lebar, rusak hebat atau hilangnya jaringan di sekitarnya
|
Kominutif, segmental, fragmen tulang ada yang hilang
|
Fraktur
juga dapat dibagi menurut garis frakturnya. Beberapa diantaranya adalah
fisura, fraktur sederhana, fraktur kominutif, fraktur segmental,
fraktur dahan hijau (greenstick), fraktur impaksi, fraktur kompresi,
impresi, dan patologis Fisura merupakan fraktur yang disebabkan oleh
cedera tunggal hebat atau oleh cedera terus menerus yang cukup lama,
seperti juga ditemukan pada retak stress pada struktur logam. Pada
fraktur dahan hijau (greenstick), periosteum tetap utuh. Fraktur
kompresi bisa terjadi akibat kekuatan besar pada tulang pendek atau
epifisis tulang pipa.

Berdasarkan
lokasinya, fraktur dapat mengenai bagian proksimal (plateau),
diaphyseal (shaft), maupun distal. Berdasarkan proses osifikasinya,
tulang panjang terdiri dari bagian diafisis (corpus/shaft) yang berasal
dari pusat penulangan sekunder. Epifisis ini terletak di kedua ujung
tulang panjang. Bagian dari diaphysis yang terletak paling dekat dengan
epifisis disebut metafisis, yaitu bagian dari korpus tulang yang
melebar. Fraktur dapat terjadi di 3 bagian ini.
Berpindahnya fragmen tulang dari tempatnya semula disebut displacement. Displacement ini dibagi menjadi 4, yaitu :
1. Aposisi
Aposisi
merupakan suatu keadaan dimana fragmen tulang mengalami perubahan letak
sehingga terjadi perubahan dalam kontak antara fragmen tulang proksimal
dan distal. Pada pemeriksaan radiologik, aposisi dinyatakan dalam
persentase kontak antara fragmen proksimal dan distal. Jadi, misalnya
dari hasil pemeriksaan rontgen terlihat bahwa tidak ada kontak sama
sekali antara permukaan fragmen proksimal dengan distal maka dinyatakan
aposisi 0%, disebut juga aposisi komplet. Kalau kontak masih terjadi
disebut aposisi parsial, misalnya aposisi 80%, berarti 80% permukaan
fragmen proksimal masih kontak dengan fragmen distal.
2. Alignment
Alignment
merupakan suatu kondisi miringnya fragmen tulang panjang sehingga arah
aksis longitudinalnya berubah. Apabila antara aksis longitudinal fragmen
proksimal dan distal membentuk sudut maka disebut angulasi. Pada
pemeriksaan radiologi, angulasi ini dinyatakan dalam derajat.
3. Rotasi
Rotasi
adalah berputarnya fragmen tulang pada aksis longitudinalnya, misalnya
fragmen distal mengalami perputaran terhadap fragmen proksimal.
4. Length (panjang)
Length
dapat dibagi menjadi 2, yaitu overlapping (tumpang tindihnya tulang)
yang menyebabkan pemendekan (shortening) tulang serta distraksi yang
menyebabkan tulang memanjang.
Ada
jenis fraktur yang patahnya tidak disebabkan oleh trauma, tetapi
disebabkan oleh adanya proses patologis, misalnya tumor, infeksi, atau
osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang,
dan disebut fraktur patologis.
Ada
juga fraktur, yang biasanya berbentuk fisura, yang disebabkan oleh
beban lama atau trauma ringan yang terus menerus yang disebut fraktur
kelelahan. Hal ini misalnya terjadi pada tungkai bawah di tibia atau
tulang metatarsus pada tentara, penari, atau olahragawan yang sering
berbaris atau berlari. Akan tetapi, fisura tulang lebih sering
disebabkan cedera.
Sehubungan
dengan patofisiologi dan perjalanan penyakitnya, fraktur juga dibagi
atas dasar usia pasien, yaitu fraktur pada anak-anak, fraktur pada orang
dewasa, dan fraktur pada orang tua. Pola anatomis kejadian fraktur dan
penanganannya pada ketiga golongan umur tersebut berbeda. Orang tua
lebih sering menderita fraktur pada tulang yang osteoporotic, seperti
vertebra atau kolum femur; orang dewasa lebih banyak menderita fraktur
tulang panjang, sedangkan anak jarang menderita robekan ligament.
Penanganan fraktur pada anak membutuhkan pertimbangan bahwa anak masih
tumbuh. Selain itu, kemampuan penyembuhan anak lebih cepat dan karena
itulah pemendekan serta perubahan bentuk akibat patah lebih dapat
ditoleransi pada anak. Pemendekan dapat ditoleransi karena pada anak
terdapat percepatan pertumbuhan tulang panjang yang patah. Perubahan
bentuk dapat ditoleransi karena anak mempunyai daya penyesuaian bentuk
yang lebih besar.
Satu
bentuk fraktur yang khusus pada anak adalah fraktur yang mengenai
cakram pertumbuhan. Fraktur yang mengenai cakram epifisis ini perlu
mendapat perhatian khusus karena dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan.
Fraktur cakram epifisis ini dibagi menjadi lima tipe.
Tipe 1
|
Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafisis, tetapi periosteumnya masih utuh
|
Tipe 2
|
Periosteum robek di satu sisi sehingga epifisis dan cakram epifisis lepas sama sekali dari metafisis
|
Tipe 3
|
Fraktur cakram epifisis yang melalui sendi
|
Tipe 4
|
Terdapat fragmen fraktur yang garis patahannya tegak lurus cakram epifisis
|
Tipe 5
|
Terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis yang menyebabkan kematian dari sebagian cakram tersebut
|
Diagnosis Fraktur
Pemeriksaan
untuk menentukan ada atau tidaknya patah tulang terdiri atas empat
langkah: tanyakan (anamnesis, adakah cedera khas), lihat (inspeksi,
bandingkan kiri dan kanan), raba (analisis nyeri), dan gerakan (akif
dan/atau pasif).
1. Riwayat pasien
Sering
kali pasien datang sudah dengan keluhan bahwa tulangnya patah karena
jelasnya keadaan patah tulang tersebut bagi pasien. Sebaliknya juga
mungkin, fraktur tidak disadari oleh penderita dan mereka datang dengan
keluhan keseleo, terutama patah yang disertai dislokasi fragmen yang
minimal. Dalam persepsi penderita trauma tersebut bisa dirasa berat
meskipun sebenarnya ringan, sebaliknya bisa dirasakan ringan meskipun
sebenarnya berat.
Diagnosis
fraktur juga dimulai dengan anamnesis adanya trauma tertentu, seperti
jatuh, terputar, tertumbuk, dan berapa kuatnya trauma tersebut.
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi
kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut.
Selain riwayat trauma, biasanya didapati keluhan nyeri meskipun fraktur
yang fragmen patahannya stabil, kadang tidak menimbulkan keluhan nyeri.
Banyak fraktur mempunyai cedera yang khas.
Perlu
ditanyakan mengenai keluhan penderita dan lokasi keluhannya. Keluhan
klasik fraktur komplet adalah sakit, bengkak, deformitas, dan penurunan
fungsi. Sakit akan bertambah apabila bagian yang patah digerakkan.
Deformitas fraktur harus dijelaskan dengan lengkap. Kita harus
mengetahui bagaimana terjadinya kecelakaan, tempat yang terkena dan
kemungkinan adanya faktor presipitasi fraktur (misal, tumor tulang,
dll). Untuk itu, perlu ditanyakan riwayat pasien sebelumnya, apakah
pasien mengalami osteoporosis, hipertensi, mengkonsumsi kortikosteroid,
dll. Perlu pula diketahui riwayat cedera atau fraktur sebelumnya,
riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dikonsumsi, merokok,
riwayat alergi, dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain.
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi / look
Pada
pemeriksaan fisik mula-mula dilakukan inspeksi dan terlihat adanya
asimetris pada kontur atau postur, pembengkakan, dan perubahan warna
local. Pasien merasa kesakitan, mencoba melindungi anggota badannya yang
patah, terdapat pembengkakan, perubahan bentuk berupa bengkok,
terputar, pemendekan, dan juga terdapat gerakan yang tidak normal.
Adanya luka kulit, laserasi atau abrasi, dan perubahan warna di bagian
distal luka meningkatkan kecurigaan adanya fraktur terbuka. Pasien
diinstruksikan untuk menggerakkan bagian distal lesi, bandingkan dengan
sisi yang sehat.
b. Palpasi / feel
Nyeri
yang secara subyektif dinyatakan dalam anamnesis, didapat juga secara
objektif pada palpasi. Nyeri itu berupa nyeri tekan yang sifatnya
sirkuler dan nyeri tekan sumbu pada waktu menekan atau menarik dengan
hati-hati anggota badan yang patah searah dengan sumbunya. Keempat sifat
nyeri ini didapatkan pada lokalisasi yang tepat sama.
Status
neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan
palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi
persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri,
efusi, dan krepitasi. Neurovaskularisasi yang perlu diperhatikan pada
bagian distal fraktur diantaranya, pulsasi arteri, warna kulit,
pengembalian cairan kapiler (capillary refill test), sensibilitas.
Palpasi
harus dilakukan di sekitar lesi untuk melihat apakah ada nyeri tekan,
gerakan abnormal, kontinuitas tulang, dan krepitasi. Juga untuk
mengetahui status vaskuler di bagian distal lesi. Keadaan vaskuler ini
dapat diperoleh dengan memeriksa warna kulit dan suhu di distal fraktur.
Pada tes gerakan, yang digerakkan adalah sendinya. Jika ada keluhan,
mungkin sudah terjadi perluasan fraktur.
c. Gerakan / moving
Gerakan
antar fragmen harus dihindari pada pemeriksaan karena menimbulkan nyeri
dan mengakibatkan cedera jaringan. Pemeriksaan gerak persendian secara
aktif termasuk dalam pemeriksaan rutin fraktur. Gerakan sendi terbatas
karena nyeri, akibat fungsi terganggu (Loss of function).
3. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan radiologis dengan pembuatan foto Rontgen dua arah 90o
didapatkan gambaran garis patah. Pada patah yang fragmennya mengalami
dislokasi, gambaran garis patah biasanya jelas. Dalam banyak hal,
pemeriksaan radiologis tidak dimaksudkan untuk diagnostik karena
pemeriksaan klinisnya sudah jelas, tetapi untuk menentukan pengelolaan
yang tepat dan optimal. Sehingga pemeriksaan radiologi untuk fraktur ini
dapat digunakan untuk diagnosis, konfirmasi diagnosis dan perencanaan
terapi, serta untuk mengetahui prognosis trauma.
Pada
tulang, panjang persendian proksimal maupun yang distal harus turut
difoto. Bila ada kesangsian atas adanya fraktur atau tidak, sebaiknya
dibuat foto yang sama dari anggota gerak yang sehat untuk perbandingan.
Bila tidak diperoleh kepastian adanya kelainan, seperti fisura,
sebaiknya foto diulang setelah satu minggu, retak akan menjadi nyata
karena hiperemia setempat sekitar tulang yang retak itu akan tampak
sebagai “dekalsifikasi”.
Radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut “rule of two”, terdiri dari :
a. Memuat 2 gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral
b. Memuat 2 sendi di proksimal dan distal fraktur
c. Memuat gambaran foto 2 ekstremitas, yaitu ekstremitas yang tidak terkena cedera (pada anak)
d. Dilakukan foto sebanyak 2 kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan
Penatalaksanaan Fraktur
Pengelolaan
fraktur secara umum mengikuti prinsip pengobatan kedokteran pada
umumnya, yaitu yang pertama dan utama adalah jangan cederai pasien
(primum non nocere). Cedera iatrogen tambahan pada pasien terjadi akibat
tindakan yang salah dan/atau tindakan yang berlebihan. Yang kedua,
pengobatan didasari atas diagnosis yang tepat dan prognosisnya. Ketiga,
bekerja sama dengan hukum alam, dan keempat, memilih pengobatan dengan
memperhatikan setiap pasien secara individu.
Enam prinsip umum pengobatan fraktur
|
1. Jangan membuat keadaan lebih jelek
2. Pengobatan berdasarkan atas diagnosis dan prognosis yang akurat
3. Seleksi pengobatan dengan tujuan khusus
a. Menghilangkan nyeri
b. Memperoleh posisi yang baik dari fragmen
c. Mengusahakan terjadinya penyambungan tulang
d. Mengembalikan fungsi secara optimal
4. Mengingat hukum-hukum penyembuhan secara alami
5. Bersifat realistik dan praktis dalam memilih jenis pengobatan
6. Seleksi pengobatan sesuai dengan penderita secara individual
|
Untuk
frakturnya sendiri, prinsipnya adalah mengembalikan posisi patahan
tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama
masa penyembuhan fraktur (imobilisasi). Reposisi yang dilakukan tidak
harus mencapai keadaan sepenuhnya seperti semula karena tulang mempunyai
kemampuan untuk menyesuaikan bentuknya kembali seperti bentuk semula
(remodeling/proses swapugar). Kelayakan reposisi suatu dislokasi fragmen
ditentukan oleh adanya dan besarnya dislokasi ad aksim, ad peripheriam,
dan kum kontraktione, yang berupa rotasi, atau perpendekan.
Secara
umum, angulasi dalam bidang gerak sendi sampai kurang lebih 20-30
derajat akan dapat mengalami swapugar, sedangkan angulasi yang tidak
dalam bidang gerak sendi tidak akan mengalaminya. Akan tetapi, rotasi
antara 2 fragmen tidak pernah terkoreksi sendiri oleh proses swapugar.
Ada tidaknya rotasi fragmen tidak dapat diketahui dari foto Rontgen,
melainkan harus diketahui dari pemeriksaan klinis. Cara yang termudah
untuk memeriksa rotasi ini adalah dengan membandingkan rotasi anggota
yang patah dengan rotasi anggota yang sehat. Pemendekan anggota yang
patah disebabkan oleh tarikan tonus otot sehingga fragmen patahan tulang
berada sebelah menyebelah. Pemendekan anggota atas pada orang dewasa
dan pemendekan pada anggota atas maupun bawah pada anak, umumnya tidak
menimbulkan masalah.
Macam-macam cara untuk penanganan fraktur :
1. Proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi
Digunakan
pada penanganan fraktur dengan dislokasi fragmen patahan yang minimal
atau dengan dislokasi yang tidak akan menyebabkan kecacatan di kemudian
hari. Contoh cara ini adalah fraktur costa, fraktur clavicula pada anak,
dan fraktur vertebra dengan kompresi minimal.
2. Imobilisasi dengan fiksasi
Dapat
pula dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi tetap memerlukan
imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini
adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting.
3. Reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi
Ini dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada fraktur radius distal.
4. Reposisi dengan traksi
Dilakukan
secara terus menerus selama masa tertentu, misalnya beberapa minggu,
dan kemudian diikuti dengan imobilisasi. Ini dilakukan pada fraktur yang
bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi kembali di dalam
gips. Cara ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat, misalnya
fraktur femur.
5. Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar
Untuk
fiksasi fragmen patahan tulang, digunakan pin baja yang ditusukkan pada
fragmen tulang, kemudian pin baja tadi disatukan secara kokoh dengan
batangan logam di luar kulit. Alat ini dinamakan fiksator ekstern.
6. Reposisi secara non operatif diikuti dengan pemasangan fiksasi dalam pada tulang secara operatif
Misalnya
reposisi fraktur collum femur. Fragmen direposisi secara non-operatif
dengan meja traksi, setelah tereposisi, dilakukan pemasangan pen ke
dalam collum femur secara operatif.
7. Reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan fiksasi interna
Ini
dilakukan misalnya, pada fraktur femur, tibia, humerus, atau lengan
bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum
tulang panjang, bisa juga berupa plat dengan sekrup di permukaan tulang.
Keuntungan reposisi secara operatif adalah bisa dicapai reposisi
sempurna dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi
tidak perlu lagi dipasang gips dan segera bisa dilakukan mobilisasi.
Kerugiannya adalah reposisi secara operatif ini mengundang resiko
infeksi tulang.
8. Eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan prosthesis
Dilakukan
pada fraktur collum femur. Caput femur dibuang secara operatif dan
diganti dengan prostesis. Ini dilakukan pada orang tua yang patahan pada
collum femur tidak dapat menyambung kembali.
Pengelolaan
fraktur terbuka perlu memperhatikan bahaya terjadinya infeksi, baik
infeksi umum (bakteremia) maupun infeksi terbatas pada tulang yang
bersangkutan (osteomyelitis). Untuk menghindarinya perlu ditekankan
disini pentingnya pencegahan infeksi sejak awal pasien masuk rumah
sakit, yaitu perlu dilakukannya debridement yang adekuat sampai ke
jaringan yang vital dan bersih. Diberikan pula antibiotik profilaksis
selain imunisasi tetanus. Selain itu, lakukan fiksasi yang kokoh pada
fragmen fraktur. Dalam hal ini, fiksasi dengan fiksator eksterna lebih
baik daripada fiksasi interna.