Insidensi
Limfoma
non-Hodgkin (NHL) merupakan penyakit yang terutama dijumpai pada usia
agak tinggi. Insidensi puncak terdapat di atas 40 tahun dan untuk
berbagai subtipe bahkan di atas 60 tahun. Median umur penderita limfoma
non-Hodgkin adalah 50 tahun. Tetapi ada beberapa tipe, yaitu NHL derajat
tinggi, yang juga (dan terutama) terdapat pada umur anak dan remaja
muda. Insidensinya adalah 6 per 100.000.
Etiologi
Etiologi
NHL sebagian besar belum diketahui. Pada tipe NHL tertentu, infeksi
virus tampaknya memegang peran. Yang paling banyak diketahui adalah
peran virus Epstein-Barr (EBV). Kaitan langsung untuk terjadinya NHL
terdapat pada limfoma Burkitt (tipe endemik) pada anak-anak kecil di
Afrika Tengah. Dalam hal ini terdapat kerjasama infeksi EBV, infeksi
malaria, dan deregulasi onkogen karena translokasi kromosomal t(8; 14),
yang menyebabkan berkembangnya limfoma Burkitt. Juga di dunia Barat, EBV
dapat ditunjukkan dalam berbagai tipe NHL (yaitu NHL sel-B besar dan
NHL sel-T). Tetapi, peran langsung EBV dalam genesis NHL ini jauh kurang
jelas daripada untuk limfoma Burkitt tipe endemik.
HTLV-1
adalah virus yang ada hubungannya dengan HIV-I (AIDS). Ada hubungan
dengan terjadinya limfoma sel-T dan leukemia di Jepang dan daerah
Karibia. Di Eropa, virus ini tidak atau hampir sama sekali tidak
terdapat. Di samping infeksi virus imunosupresi yang lama merupakan
faktor etiologi yang lain. Ini dapat merupakan imunodefisiensi
congenital, seperti misalnya pada ataksia, teleangiektasia, atau
kelainan akuisita, seperti pada AIDS atau pada terapi imunosupresif pada
penderita transplantasi. Pada umumnya penderita ini mendapat limfoma
sel-B derajat tinggi. Dibanding dengan tumor solid telah lebih banyak
diketahui mengenai peran onkogen dalam terjadinya NHL. Pada NHL terdapat
translokasi kromosom. Yang khas disini adalah bahwa bagian kromosom
spesifik, yang di dalamnya terlokalisasi gen reseptor immunoglobulin
atau sel T terpindah ke kromosom lain, yaitu ke tempat suatu onkogen.
Bahwa disini justru terlibat gen reseptor immunoglobulin dan sel-T
bukanlah suatu kebetulan. Dalam perkembangan dini sel-B dan T gen-gen
ini mengalami proses pengaturan kembali pada niveau DNA, dengan
penyusunan gen-gen fungsional dari berbagai komponen gen pada kromosom.
Pada proses ini terjadi sementara patah kromosom. Alih-alih terjadi
perbaikan patah dalam kromosom asli malahan dapat juga terjadi
penggabungan yang keliru ke kromosom lain. Hasilnya adalah suatu
translokasi. Onkogen yang bersangkutan karena itu dapat terderegulasi
dan teraktivasi. Sebagai prototype adalah translokasi t(8; 14) tersebut
di atas, dimana satu dari gen-gen rantai berat immunoglobulin kromosom
14 tergabung ke onkogen c-myc pada kromosom 8. Aktivasi c-myc
menyebabkan proliferasi hebat. Translokasi t(8; 14) secara spesifik
terdapat pada limfoma Burkitt (endemik dan sporadik) tetapi juga pada
lain-lain NHL sel-B derajat tinggi.
Translokasi
yang dapat disamakan adalah translokasi t(14; 18) yang terdapat dalam
kira-kira 85% NHL folikular sentroblastik/sentrositik (dan dalam tipe
yang berasal dari ini). Onkogen bcl-2 yang bersangkutan dengan ini
menyebabkan sentrosit dalam keadaan normal mempunyai jangka hidup sangat
terbatas, dapat hidup lebih lama karena blokade terhadap apa yang
disebut kematian sel terprogram (apoptosis). Efek ini memegang peran
penting pada terjadinya tipe NHL ini. Jadi perlu dipahami bahwa onkogen
dapat menstimulasi proliferasi maupun menghambat kematian sel. Kedua
faktor itu dapat menimbulkan replikasi sel neoplastik.
Patologi
1. Pembagian histologik
Limfoma
non-Hodgkin merupakan satu golongan penyakit yang heterogen dengan
spectrum yang bervariasi dari tumor yang sangat agresif sampai kelainan
indolen dengan perjalanan lama dan tidak aktif. Dalam perjalanan waktu
dikembangkan berbagai usaha untuk mendapatkan klasifikasi NHL yang dapat
diyakini dan dapat direproduksi. Semula klasifikasi ini didasarkan atas
sifat-sifat morfologik dan sitokimiawi. Kemudian bertambah dengan
kriteria imunologik dan biologi molekuler, yang dapat memberi gambaran
yang lebih tepat mengenai tipe sel dan stadium pertumbuhannya. Di Eropa
pada umumnya digunakan klasifikasi Kiel, di Amerika Serikat kebanyakan
klasifikasi menurut Lukes dan Collins dan kadang-kadang juga menurut
Rappaport. Karena dengan ini perbandingan hasil terapi dan prognosis
mendapat banyak kesukaran, pada tahun 1982 dikembangkan Working
Formulation (WF). Ini bukanlah suatu sistem klasifikasi baru melainkan
suatu kompromi berdasarkan empiri klinik yang dapat membedakan entities
dengan implikasi prognostik.
Limfoma
non-Hodgkin berdasarkan atas asal limfositnya dibagi menjadi 2, yaitu
NHL limfosit B yang nantinya akan berdeferensiasi menjadi sel plasma
yang membentuk antibodi (prevalensinya 70%) dan NHL limfosit T yang
nantinya akan berdeferensiasi menjadi bentuk aktif.
Dibedakan
3 derajat malignitas klinis: rendah (30%), intermedier (40%) dan tinggi
(20%), dan dalam kategori ini digunakan pengertian dari klasifikasi
Dorfman, Lukes, dan Collins. Dua sistem klasifikasi morfologik yang umum
dipakai di Amerika Serikat ini didasarkan atas pola pertumbuhan dan
tipe sel. Kriteria imunologik, yang antara lain membedakan antara tipe
sel-B dan sel-T, belum dimasukkan disini. Tetapi, kepentingan besar WF
adalah dalam kenyataan bahwa WF ini mempunyai nilai prediktif yang baik
untuk perilaku klinis malignitas ini. Karena itu, sistem ini merupakan
dasar untuk tindakan terapeutik.
Konsep
klasifikasi Kiel berdasar atas perbandingan dengan pertumbuhan sel-B
dan sel-T normal. Limfoma non-Hodgkin dianggap sebagai lawan maligna
stadium spesifik dalam pertumbuhan ini dan dengan itu mempunyai fenotipe
yang cocok (morfologi dan pola penanda). Terutama dalam hal NHL sel-B
ini menyebabkan pengenalan entities biologic yang disebut penyakit
limfoma. Kepentingannya adalah pertama bahwa dalam golongan NHL dengan
derajat malignitas yang sama dapat dibuat prediksi mengenai kelakuan
tumornya dalam arti lokalisasi tumor yang diharapkan (lien, sumsum
tulang, ekstranodal, susunan saraf sentral) dan kemungkinan terhadap
relaps. Kedua, cara klasifikasi demikian merupakan dasar yang baik untuk
penelitian medik biologik dalam lapangan non-Hodgkin. Karena itu, di
Amerika Serikat makin besar antusiasme untuk penanganan demikian. Hal
ini belakangan ini menyebabkan usul bersama hematopatolog Eropa dan
Amerika untuk memodernisasi klasifikasi Kiel, berdasar atas kesatuan
biologik yang didefinisikan dengan menggunakan morfologi,
imunohistologi, sitogenetika, dan biologi molekuler (Harris, 1994).
Klasifikasi baru ini berbeda dengan klasifikasi Kiel sedemikian rupa,
bahwa tekhnik pemeriksaan modern diimplementasikan dalam diagnostik NHL
dan bahwa juga NHL ekstranodal, yang dalam klasifikasi Kiel tidak dapat
dimasukkan dengan baik padahal kira-kira merupakan 40% semua NHL, secara
eksplisit diikutsertakan.
Pengenalan
entities biologi diharapkan dapat menuntun ke pengembangan terapi yang
ditujukan pada perilaku klinis spesifik penyakit limfoma individual.
Tabel 1. Klasifikasi histologik limfoma non-Hodgkin menurut klasifikasi Kiel dan penetapan stadium menurut Working Formulation
Limfoma sel-B
|
Limfoma sel-T
|
Derajat malignitas rendah
|
Derajat malignitas rendah
|
Limfositik (antara lain CLL)
Imunositoma
Folikular-sentroblastik/sentrositik
|
Limfositik (T-CLL)
|
Derajat malignitas intermedier
|
Derajat malignitas intermedier/tinggi
|
Folikular-sentroblastik-sentrositik
Difus sentroblastik
Sel mantel
Sel besar-anaplastik
|
Pleomorf sel kecil dan sel besar
Sel besar anaplastik
Imunoblastik
Limfoblastik
|
Derajat malignitas tinggi
|
Imunoblastik
Burkitt
Limfoblastik
|
Lain-lain
|
Lain-lain
|
Terasosiasi mukosa (MALT)
Leukemia sel rambut
Plasmasitoma
|
Mycosis fungoides
Sindroma Sezary
Kutan (antara lain CD30+)
|
2. Teknik tambahan pada pemeriksaan histologik
Di
samping kriteria morfologik untuk menentukan diagnosis NHL, banyak
digunakan pemeriksaan imunohistokimiawi. Kenyataan bahwa malignitas itu
sifatnya klonal, artinya terjadi dari satu sel yang tertransformasi,
dapat digunakan untuk diferensiasi antara proliferasi reaktif dan NHL.
Pada limfoma sel B dalam hal ini dapat diperhatikan restriksi rantai
ringan. Artinya bahwa satu NHL sel B hanya memproduksi satu tipe rantai
ringan, kappa, atau lambda. Ini ditunjukkan dengan tekhnik
imunohistokimiawi. Dengan penggunaan panel zat penanda yang
karakteristik untuk berbagai stadium perkembangan sel B dan sel T lebih
lanjut dapat dibedakan antara NHL sel B dan sel T dan antara berbagai
subtipe NHL.
Pemeriksaan
imunohistokimiawi, dalam banyak hal harus dikerjakan atas vriescoupe.
Jadi sangatlah penting bahwa patolog anatomi menerima material yang
dikirim (kelenjar limfe, material biopsi lambung, dan lain-lain) tidak
terfiksasi, jadi tidak dalam formalin. Juga dengan menggunakan teknik
biologi molecular dapat ditunjukkan monoklonalitas, tipe sel-B dan sel-T
dari proliferasi limfoid. Disini diperhatikan penyusunan (kembali)
gen-gen reseptor immunoglobulin dan sel-T. juga dengan cara ini dapat
diperiksa translokasi yang terdapat pada berbagai tipe NHL.
Manifestasi Klinis
NHL
kebanyakan menampakkan diri sebagai pembesaran kelenjar limfe. Ini
dapat terjadi pada semua stasiun kelenjar. Kelenjar limfe biasanya tidak
nyeri dan ukurannya dapat bervariasi dari 1-2 cm sampai paket yang
lebih besar. Pada limfoma folikular pembengkakan kelenjar limfe
kadang-kadang sudah ada beberapa tahun tanpa mengalami banyak perubahan
dalam ukurannya.
Sekitar
20-30% dari NHL mulai ekstranodal, keluhan bervariasi tergantung pada
organ yang terlibat. Limfoma ekstranodal antara lain dapat dijumpai di
kulit, traktus digestivus, tulang, kelenjar tiroid dan testis.
Diagnosis
Diagnosis
ditetapkan dengan pemeriksaan material biopsi kelenjar limfe. Pungsi
histologik dapat mencurigakan untuk diagnosis, tetapi histologi
diperlukan untuk klasifikasi yang tepat dan menentukan subtipenya, yang
mempunyai konsekuensi terapeutik penting.
Sesudah
diagnosis NHL ditetapkan, perlu dijalankan penetapan stadiumnya.
Pembagian stadium yang digunakan identik dengan yang digunakan pada
penyakit Hodgkin. Di samping anamnesis dan pemeriksaan fisik, dengan
perhatian khusus untuk organ limfoid antara lain juga lingkaran
Waldeyer, pemeriksaan inisial ini juga meliputi analisis darah (gambaran
darah, fungsi hepar, fungsi ginjal dan spektrum protein). Jelas jika
ada kelenjar di leher ikut serta dalam proses itu diperlukan pemeriksaan
THT. Pemeriksaan rontgen meliputi foto toraks dan CT-scan perut.
CT-scan pada NHL praktis menggantikan limfangiografi.
Untuk
penetapan stadium pengeboran tulang penting, terutama pada limfoma
folikular, hasilnya 60-70% dari kasus positif. Pada limfoma difus sel
besar hasilnya lebih rendah (30%). Karena itu pada limfoma folikular,
penyakitnya dalam 70-80% kasus telah berada dalam stadium III atau IV
pada presentasi pertama.
Limfoma
limfoblastik dan limfoma Burkitt seperti LLA, dapat menunjukkan
perluasan meningeal, pasti jika sumsum tulangnya positif. Untuk ini
diperlukan pemeriksaan liquor.
Pada
NHL dapat terjadi hemolisis autoimun dan trombositopenia. Pada anemia
atau trombositopenia yang tidak jelas sebabnya harus diingat akan hal
ini. Kadang-kadang terdapat juga paraproteinemia.
Tabel 2. Penetapan diagnosis limfoma non-Hodgkin
Anamnesis
|
Gejala-gejala B
Kelainan yang terasosiasi dalam keluarga
|
Pemeriksaan
|
Kelenjar-kelenjar : lokalisasi dan besarnya
Pembesaran hepar, limpa
Pemeriksaan THT
|
Pemeriksaan laboratorium
|
LED, Hb, leukosit, trombosit
Faal hati dan ginjal
SLDH
Spektrum protein
|
Pemeriksaan sumsum tulang
|
Biopsi tulang Yamshidi
|
Pemeriksaan rontgen
|
X-thorax
CT-scan toraks-abdomen
|
Dipertimbangkan/jika ada indikasi
|
Pemeriksaan imunotipe darah perifer pada lokalisasi
ekstranodal atau organ
Pemeriksaan gambar organ bersangkutan dan kelenjar
kelenjar berbatasan
Pemeriksaan lambung pada limfoma THT
Pemeriksaan liquor pada sumsum tulang positif pada
NHLderajat intermedier tinggi
Pemeriksaan trombositopenia hemolisis/autoimun
|
Pada
NHL yang primer terlokalisasi di organ dalam prinsipnya dilakukan
penetapan stadium yang sama, ditambah dengan pemeriksaan organ yang
bersangkutan. Pada limfoma lambung sering didapatkan lokalisasi tonsil,
dan juga kebalikannya. Jadi pemeriksaannya harus diarahkan ke sini.
Terapi
Tabel 3. Pilihan terapi limfoma non-Hodgkin
|
Derajat rendah (folikular)
|
Difus (derajat intermedier/tinggi)
|
Stadium I
|
RT
|
RT
Pada tumor >5cm CT, kemudian RT
|
Stadium II
|
RT
|
Sebagai stadium III atau IV
|
Stadium III-IV
|
Mungkin :
- Wait and see
- Mono-CT
- Kombinasi CT : CVP
- TBI
- Terapi ajuvan interferon
|
Kemoterapi CHOP
|
Residif
- Setelah RT
- Setelah CT
|
Sebagai III-IV
Tergantung interval
Jika singkat : CT lebih intensif
Jika lama : CT yang sama
Jika lokal : RT lokal
- Fludarabin
- Dalam penelitian : CT dosis tinggi dengan ABMT/PSCT
|
Sebagai III-IV
Pada umumnya CT tidak resisten silang
Jika remisi : CT dosis tinggi dengan ABMT atau PSCT
|
RT : radioterapi ABMT : transplantasi sumsum tulang autolog
CT : kemoterapi PSCT : transplantasi sel induk perifer
TBI : total body irradiation
Pada pemilihan terapi limfoma non-Hodgkin yang penting adalah stadium, derajat malignitas, dan umur.
1. Terapi limfoma derajat malignitas rendah
Sekitar
25-30% NHL termasuk limfoma derajat malignitas rendah. Dari golongan
ini limfoma folikular sentroblastik-sentrositik merupakan bagian
terbesar. Sebagian besar limfoma ini berada dalam stadium III dan IV.
Yang dibicarakan di bawah terutama mengenai tipe ini (Horning, 1994).
Untuk stadium I dan II yang frekuensinya kecil, radioterapi adalah
terapi yang diperlukan. Dengan ini, 70% penderita dalam stadium I dan
50% dalam stadium II sembuh. Penelitian mengenai nilai kemoterapi
ajuvant sesudah radioterapi tidak menunjukkan perbaikan ketahanan hidup.
Terdapat
problem mengenai terapi stadium III dan IV. Limfoma folikular mempunyai
perjalanan yang sedikit agresif, tetapi kemungkinan penyembuhannya
terbatas. Prosesnya mudah didesak kembali, tetapi tidak dapat
dihilangkan karena masih ada sarang-sarang yang ketinggalan, antara lain
di dalam sumsum tulang. Jika tercapai remisi masih dapat timbul
residif. Di samping itu, penderita kebanyakan lebih tua. Bisa dipilih
“tunggu dan amati”, artinya baru dimulai terapi jika jelas ada progresi.
Juga dapat dipilih monokemoterapi yang tidak banyak memberatkan dalam
bentuk klorambusil, atau untuk kemoterapi kombinasi dalam bentuk seri
CVP. Penyinaran tubuh total, dengan menyinari seluruh tubuh dengan dosis
rendah, juga merupakan suatu alternatif.
Tabel 4. Beberapa kombinasi kemoterapi yang banyak dipakai pada limfoma non-Hodgkin
|
Dosis (mg/m2)
|
|
Hari ke-
|
1 2 3 4 5 8 15
|
CVP
|
|
|
|
|
Vinkristin
Siklofosfamid
Prednisone
|
1,4
300
50-100
|
p.o.
p.o.
p.o.
|
|
+
——————
——————
|
CHOP
|
|
|
|
|
Siklofosfamid
Prednisone
Vinkristin
Prednisone
|
750
50
1,4
60-100
|
i.v.
i.v.
i.v.
p.o.
|
|
+
+
+
——————
|
CHVmP/VCR bleo
|
|
|
|
|
Siklofosfamid
Adriamisin
VM 26
Prednisone
Vinkristin
Bleomisin
|
600
50
60
60
1,4
10
|
i.v.
i.v.
i.v.
p.o.
i.v.
i.v.
|
|
+
+
+
—————–
+
+
|
Keterangan : + dosis sekali
— diminum tiap hari berkelanjutan
Pemilihan
terapi tidak berpengaruh terhadap ketahanan hidup pasien. Dengan
kombinasi kemoterapi kemungkinan mencapai remisi yang baik lebih besar.
Saat mulai dan macamnya terapi karena itu akan ditentukan oleh umur dan
massa tumornya, dan ada atau tidaknya keluhan.
Pada
massa tumor yang kecil dapat diadakan periode observasi, yang pasti
pada penderita yang lebih tua, dan bila terjadi progresi dapat dimulai
dengan klorambusil. Tetapi jika yang dihadapi paket kelenjar limfe yang
besar yang memberi keluhan, maka akan diinginkan regresi yang lebih
cepat dan akan dipilih CVP. Lama terapi ditentukan oleh saat dicapainya
remisi baik, kemudian ditunggu. Pada residif, terapi diulang.
Peran
intereferon pada terapi primer pada tahun-tahun akhir ini diteliti.
Sebagai adjuvant yang diberikan pada waktu terapi primer interferon
memberi perbaikan ketahanan hidup bebas penyakit, tetapi tidak untuk
lamanya ketahanan hidup. Tetapi, hasilnya belum sedemikian sehingga
penambahan interferon dapat menjadi standar. Efek samping adalah rasa
lelah dan batuk pilek.
Pada
NHL derajat malignitas rendah lama remisi pada umumnya tidak panjang.
Sesudah 5 tahun 40% penderita masih dalam remisi. Ketahanan hidup adalah
70% sesudah 5 tahun, dan 50% sesudah 10 tahun.
Kalau
residif terjadi lama sesudah terapi pertama dan bersifat lokal, dapat
dipertimbangkan radioterapi lokal. Pada residif yang lebih
tergeneralisasi, kebijaksanaan tergantung pada intervalnya. Pada
interval yang lebih lama (lebih dari 1-2 tahun) dapat dipilih terapi
yang sama seperti pada penanganan pertama, pada interval yang singkat
akan dipilih terapi yang lebih berat, misalnya CVP sesudah leukeran,
atau CHOP sesudah CVP.
Tahun-tahun
terakhir ini telah dikembangkan beberapa obat baru yang pada NHL
derajat rendah memberi hasil yang lebih baik. Fludarabin, suatu
antimetabolit dalam lini kedua memberi 30% remisi baik dan dalam lini
pertama bahkan 60%. Dapat diharapkan bahwa obat ini akan menduduki
tempat yang penting dalam terapi limfoma tipe ini. Jika digunakan dalam
lini kedua atau ketiga, ada kemungkinan infeksi oportunistik, karena
limfosit normal juga turun jumlahnya.
Prognosis
tipe limfoma ini dalam tahun-tahun terakhir tidak tampak adanya
kemajuan. Introduksi dosis tinggi kemoterapi dengan transplantasi sumsum
tulang atau sel induk pada limfoma derajat intermedier atau derajat
tinggi menimbulkan pertanyaan apakah ini juga pada limfoma derajat
rendah dapat memberikan hasil. Penelitian untuk ini sedang dilakukan.
2. Limfoma derajat malignitas intermedier dan tinggi
Pada
terapi limfoma derajat melignitas intermedier dan tinggi akhir-akhir
ini tampaknya ada perkembangan penting, tetapi ternyata harapan tidak
menjadi kenyataan. Jika disebutkan limfoma derajat intermedier dan
tinggi perlu dijelaskan bahwa di dalam kebanyakan publikasi, dan juga
apa yang disebutkan di bawah ini limfoma limfoblastik tidak termasuk
dalam kategori ini. Limfoma ini biasanya ditangani sebagai LLA. Saat
ini, mengenai terapi tidak ada perbedaan antara tipe sel-T dan sel-B.
Mengenai
stadium I, terdapat perbedaan pendapat. Sebagian berpendapat bahwa
dengan radioterapi saja dalam 60-70% kasus dapat diperoleh kesembuhan.
Jika dalam stadium I limfoma lebih besar dari 5 cm maka radioterapi saja
tidak cukup. Sebagian lain cenderung semua limfoma intermedier dan
derajat tinggi diterapi dengan kemoterapi, tetapi radioterapi saja untuk
stadium I dengan massa kelenjar yang kecil dapat dipertahankan.
Dalam
stadium II, III, dan IV, kemoterapi merupakan tindakan terpilih. Terapi
standar masih tetap kemoterapi CHOP (siklofosfamid, adriamisin,
vinkristin, prednisone). Dengan ini kira-kira 60% kasus dapat mencapai
remisi komplit, dengan 30% ketahanan hidup lebih lama, atau dalam hal
ini kesembuhan.
Sejumlah
besar studi dari berbagai institut dengan menggunakan skema kemoterapi
yang lebih baru dan lebih intensif, belakangan ini menunjukkan hasil
lebih baik dibandingkan dengan terapi CHOP. Kemoterapi baru ini berbeda
dengan seri CHOP karena diberikan lebih banyak obat sebagian besar dalam
dosis yang lebih tinggi dan juga dengan interval yang lebih pendek.
Contoh adalah m-BACOD dan pro-MACE-MOPP. Terobosan yang paling konsekuen
dalam lapangan ini adalah kombinasi MACOP-B. Pada cara ini kemoterapi
diberikan 12 minggu kontinyu, tanpa terputus dan hampir sama sekali
tanpa memperhitungkan angka-angka darah. Di samping itu, diberikan
profilaktik antibiotik dan kadang-kadang pemberian trombosit
berkali-kali. Persentase remisi komplit adalah 84 dan persentase
ketahanan hidup lama adalah 69. Tetapi ini merupakan penelitian yang
tidak dirandomisasi, berasal dari satu institut.
Belakangan
dapat dibaca hasil penelitian besar di Amerika yang dirandom terhadap
899 penderita, yang di dalamnya dibandingkan beberapa skema baru dengan
terapi standar CHOP. Tidak didapat perbedaan, baik dalam kemungkinan
remisi, maupun dalam ketahanan hidup bebas sakit, atau dalam ketahanan
hidup. Ketahanan hidup bebas penyakit yang panjang adalah antara 40-45%
untuk semua skema yang diteliti. Yang jelas adalah justru adanya lebih
banyak morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi sebagai akibat efek
samping.
Selanjutnya
ternyata bahwa prognosis pada tipe limfoma ini tergantung pada beberapa
cirri inisial, yang disebut faktor prognostik. Telah dibuat analisis
luas mengenai faktor-faktor prognostik ini pada limfoma derajat
intermedier dan derajat tinggi. Faktor prognostik yang terepenting
adalah umur (di atas atau di bawah 60 tahun), stadium (I-II versus
III-IV), jumlah lokalisasi ekstranodal (0-1 terhadap lebih dari 2),
performance status (0-1 versus 2-3) dan kadar SLDH (normal dibandingkan
dengan abnormal). Ketahanan hidup jangka panjang dapat bervariasi dari
70% pada faktor tidak menguntungkan 0-1, sampai 20-30% pada adanya
faktor tidak menguntungkan 4 atau 5, tidak tergantung pada terapi. Jadi,
sangat mungkin bahwa hasil baik yang pertama disebutkan dari skema yang
lebih intensif itu berdasar atas kriteria seleksi. Jadi, sementara
terapi CHOP yang lama tetap dipertahankan.
Juga
pada NHL diterapkan kemoterapi dosis tinggi dengan pemberian kembali
sumsum tulang atau sel induk perifer. Dengan ini dapat dicapai remisi
pada keadaan yang dengan terapi konservatif tidak dapat diharapkan.
Kemoterapi
dosis tinggi dengan ABMT dengan reinfusi sel induk perifer antara lain
diterapkan pada penderita dengan ciri-ciri yang tidak menguntungkan
(volume besar, LDH tinggi), sebagai konsolidasi lini pertama, dan pada
penderita dengan residif pertama atau kedua sesudah mereka dikembalikan
lagi di dalam remisi sebaik mungkin. Ternyata bahwa tidak ada artinya
menerapkan terapi ini pada penderita yang telah diobati dengan segala
cara atau pada penderita dengan progresi selama kemoterapi standar.
Indikasi tepat untuk cara penanganan ini belum seluruhnya pasti dan
studi lebih lanjut sedang dilakukan.
Pada
penderita lebih tua (1/3 adalah lebih tua daripada 70 tahun) pada waktu
ini sedang diteliti apakah dengan varian terapi CHOP yang lebih dapat
ditoleransi dapat dicapai hasil yang sama: kurang toksisitas, tanpa
kehilangan keberhasilan. Yang digunakan adalah skema CNOP, yang di
dalamnya adriamisin dari CHOP diganti dengan mitoksantron (Novantrone)
yang kurang toksisitasnya, meskipun dalam beberapa studi hasilnya tampak
kurang dibandingkan dengan CHOP.
Tempat
radioterapi pada penanganan stadium II, III, dan IV limfoma derajat
intermedier dan tinggi tidak jelas. Tidak tampak bahwa radioterapi
membantu perbaikan ketahanan hidup, tetapi residif lokal dapat dicegah.
Dalam publikasi yang paling akhir, radioterapi tidak diberikan sebagai
bagian tetap dari terapi.
Jika
penyakit ini sesudah kemoterapi lini pertama kembali lagi, sulit
mencapai remisi baru untuk jangka panjang dengan bentuk lain standar
kemoterapi. Pada golongan penderita dengan residif pertama atau kedua
yang sensitif untuk kemoterapi, sementara dapat ditunjukkan bahwa
kemoterapi dosis tinggi dengan bantuan sumsum tulang memperbaiki
prognosis dibanding dengan terapi standar.