A. Definisi
Definisi sindrom hepatorenal yang diusulkan oleh International
Ascites Club (1994) adalah suatu sindrom klinis yang terjadi pada pasien
penyakit hati kronik dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal
yang ditandai oleh penurunan fungsi ginjal dan abnormalitas yang nyata
dari sirkulasi arteri dan aktifitas sistem vasoactive endogen. SHR
bersifat fungsional dan progresif.
SHR merupakan suatu gangguan fungsi
ginjal pre renal, yaitu disebabkan adanya hipoperfusi ginjal. Pada
ginjal terdapat vasokonstriksi yang menyebabkan laju filtrasi glomerulus
rendah, dimana sirkulasi di luar ginjal terdapat vasodilatasi arteriol
yang luas yang menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik total
dan hipotensi. Walaupun terjadi hipoperfusi ginjal, tetapi terapi dengan
hanya perbaikan volume plasma saja ternyata tidak dapat memperbaiki
fungsi ginjal ini.
B. Faktor resiko
Meskipun sindrom hepatorenal lebih umum terdapat pada penderita
dengan sirosis hati yang kronis, hal ini dapat juga timbul pada
penderita penyakit hati kronik atau penyakit hati akut lain seperti
hepatitis alkoholik atau kegagalan hati akut.
Faktor predisposisi terjadinya SHR yang terpenting adalah adanya
komplikasi SBP (Spontaneous Bacterial Peritonitis) dan usia tua.
Translokasi bakteri dari intestinal mungkin sangat penting dalam
memperburuk endotoksinemia dan barangkali mempunyai efek langsung
terhadap ginjal pada pasien sirosis, melalui perantaraan tumor necrosis
factor dan interleukin, seperti dilaporkan pada pasien sirosis dengan
komplikasi infeksi. Faktor predisposisi lainnya termasuk parasintesis
yang berlebihan, terapi antibiotik berlebihan dan berkepanjangan,
perdarahan gastrointestinal, atau penyebab lainnya yang berhubungan
dengan penururnan volume plasma seperti diare menetap, restriksi cairan
berlebihan.
Di samping itu pemberian NSAIDs meskipun dosis kecil,
mungkin menyebabkan penurunan fungsi ginjal pada pasien sirosis. NSAIDs
menghambat siklooksigenase yang bekerja mengubah asam arakidonat menjadi
prostaglandin sehingga kadarnya meningkat . prostaglantin merupakan
vasodilator, pada sirosi hati dapat terjadi peningkatan prostaglandin
secara spontan. Pada pasien sirosis, terapi dengan albumin intravena dan
antibiotic mengurangi insidensi gangguan faal ginjal dan mortalitas
jika dibandingkan dengan terapi antibiotika saja.
C. Patogenesis
Pathogenesis SHR sampai sekarang belum secara lengkap diketahui
sampai saat ini. Hipotesis SHR adalah sebagai berikut : akibat dari
sirosis hati atau penyakit hati akut lain dan bersama-sama dengan
hipertensi portal akan mengakibatkan vasodilatasi arteri splanknik.
Vasodilatasi ini akan mengakibatkan hipovolemi atau arteri sentral
sehingga merangsang aktivasi system rennin angiostensis aldosteron, dan
hormone antidiuretik yang secara keseluruhan akan menyebabkan
vasokontriksi pembuluh darah ginjal. Di ginjal seharusnya akan terjadi
mekanisme kompensasi, namun dengan alasan yang belum jelas justru
terjadi ketidakseimbangan mekanisme kompensasi ini, yaitu meningkatnya
vasokontriktor disertai penurunan vasodilator.
– Faktor Vasokonstriktor
–
Sistem renin-angiotensin tampaknya berperan penting dalam
mempertahankan vasokonstriksi pada sindrom hepatorenal. Konsentrasi
renin plasma akan meningkat pada penderita dengan sirosis dekompensata,
mungkin sebagai akibat penurunan inaktivasi renin oleh hati.
Walaupun
terjadi peningkatan konsentrasi renin plasma, akan terjadi juga
pengurangan substrat renin, dan ketika ditransfusi dengan plasma darah
yang kaya akan substrat renin, pada penderita sindrom hepatorenal akan
terjadi peningkatan tekanan darah dan ekskresi urin berhubungan dengan
penurunan renin plasma. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan renin
plasma adalah merupakan respon terhadap penurunan perfusi ginjal dan
efek ini dibatasi oleh penurunan substrat renin.
Sekresi renin sebagai
respon terhadap penurunan perfusi ginjal memegang peranan utama dalam
mempertahankan filtrasi glomerulus. Penurunan perfusi disertai sekresi
renin akan menyebabkan aktivasi angiotensin, lalu menimbulkan
vasokonstriksi arteriolar eferen untuk mempertahankan tekanan
intraglomerular dan filtrasi glomerulus. Ketika perfusi ginjal makin
menurun, maka angiotensin akan menyebabkan vasokonstriksi arteriolar
aferen sehingga menurunkan perfusi dan filtrasi glomerulus.
Beberapa studi melaporkan beberapa perubahan biokimiawi pada pasien sirosis hepatis dengan SHR sebagai berikut :
· Hati
– Penurunan sintesis angiotensinogen dan kininogen
– Penurunan pemecahan rennin, angiotensin II, aldosteron, endotoksin, dan vasopressin
· Plasma
– Peningkatan kadar rennin, angiotensin II,
aldosteron, endotoksin noradrenalin, vasopressin, endotelin, 2 dan 3,
leukotrien C4 dan D4, kalsitonin peptida, dan hormon antidiuretik
– Penurunan kadar kalikrein, bradikinin, dan faktor natriuretik arterial
· Urin atau ginjal
– Peningkatan rennin, angiotensin II, aldosteron, endotelin,
tromboksan A2, lekotrien E4, prostaglandin E2, prostasiklin, bradikinin.
Dari beberapa penelitian pada penderita SHR memperlihatkan
perbaikan fungsi ginjal setelah pemberian antagonis spesifik reseptor
endotelin–A. Beberapa penelitian melaporkan terjadinya peningkatan
produksi sisteinil leukotrien yang berperan sebagai vasokonstriktor
ginjal yang kuat pada penderita SHR.
Substansi vasoaktif lainnya seperti adenosin, F2 – isoprostan
dapat juga berperan sebagai faktor yang mempengaruhi patogenesis
vasokonstriksi ginjal dalam SHR, tapi mekanisme yang pasti masih belum
diketahui. Baru-baru ini disebutkan endotoksin dan sitokin juga berperan
dalam timbulnya vasokonstriksi ginjal yang poten pada SHR yang timbul
setelah infeksi bakteri yang berat pada sirosis. Hal ini diduga karena
peningkatan translokasi bakteri dan portosystemic shunting. Bagaimanapun
peran endotoksin dan sitokin dalam disfungsi ginjal pada sirosis masih
merupakan perdebatan.
– Faktor Vasodilator –
Sebuah penelitian pada penderita dengan sirosis atau percobaan
pada binatang memperlihatkan bahwa sintesis faktor vasodilator lokal
pada ginjal memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan perfusi
ginjal dengan melindungi sirkulasi ginjal dari efek yang merusak dari
faktor vasokonstriktor.
Mekanisme vasodilator ginjal yang paling penting adalah
prostaglandin (PGs). PGs membentuk sistem yang unik dimana ginjal mampu
mengimbangi efek peningkatan kadar vasokonstriktor tanpa merusak fungsi
sistemiknya. Bukti paling kuat yang menyokong peran PGs ginjal dalam
mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis dengan ascites diperoleh dari
penelitian yang menggunakan obat non steroid anti inflamasi untuk
menghambat pembentukan prostaglandin di ginjal. Pemberian NSAIDs,
sekalipun dalam dosis tunggal pada penderita sirosis hati dengan ascites
menyebabkan penurunan yang nyata dalam aliran darah ginjal dan laju
filtrasi glomerulus, yang perubahannya menyerupai kejadian dalam SHR
pada penderita dengan aktifitas vasokonstriktor yang nyata, tetapi tidak
atau sedikit efek pada penderita tanpa aktifitas vasokonstriktor.
Vasodilator ginjal lainnya yang mungkin berpartisipasi dalam
mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis adalah nitrit oksida. Jika
produksi nitrit oksida dan PGs dihambat, secara tidak langsung dalam
percobaan sirosis dengan ascites terjadi penurunan perfusi ginjal.
Vasodilator lain yang mungkin mempengaruhi pengaturan perfusi ginjal
pada sirosis adalah natriuretik peptida. Gulberg dkk menemukan
peningkatan jumlah C Type natriuretic peptide (CNP) di urin penderita
sirosis dan gagal ginjal fungsional. Selanjutnya ditemukan hubungan yang
terbalik antara CNP di urin dengan ekskresi natrium urin. CNP ini
berperan dalam pengaturan keseimbangan natrium. Penemuan ini membuktikan
aktifitas vasodilator ginjal meningkat pada sirosis dan berperan dalam
pengaturan perfusi ginjal, terutama pada aktifitas vasokonstriktor
ginjal yang berlebih.
– Sistem saraf simpatis
–
Stimulasi sistem saraf simpatis sangat tinggi pada penderita SHR
dan menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan meningkatkan retensi natrium.
Hal ini telah diperlihatkan oleh beberapa peneliti yang membuktikan
adanya peningkatan sekresi katekolamin di pembuluh darah ginjal dan
splangnik. Kostreva dkk mengamati terjadinya vasokonstriksi arteiol
afferen ginjal yang menimbulkan penurunan aliran darah ginjal dan GFR
dan meningkatkan penyerapan air dan natrium di tubulus.
D. Gambaran Klinis
Mekanisme klinis penderita SHR ditandai dengan kombinasi antara
gagal ginjal, gangguan sirkulasi, dan gagal hati. Gagal ginjal dapat
timbul secara perlahan atau progresif dan biasanya diikuti dengan
retensi natrium dan air yang menimbulkan ascites, edema, dan hiponatremi
dilusional, yang ditandai oleh ekresi natrium urin yang rendah dan
pengurangan kemampuan berkemih (oliguri –anuria ). Gangguan sirkulasi
sistemik yang berat ditandai dengan tekanan arteri yang rendah,
peningkatan cardiac output, dan penurunan total tahanan pembuluh darah
sistemik Gambaran klinis uremia jarang dijumpai, begitu juga pada
analisis urin didapatkan keadaan normal.
· Penurunan produksi urin
· Urin warna teh pekat
· Ikterus (yellow-orange color)
· Penambahan berat badan
· Perut membesar (abdominal swelling)
· Penurunan kesadaran (dementia, delirium, confusion
)
· Kejang otot
· Mual
· Muntah
· Hematemesis
· Melena
Pada pemeriksaan fisik bisa ditemukan tanda-tanda ensefalopati, asites dan jaundice dan
tanda gagal hati lain bersamaan dengan penurunan fungsi ginjal. Refleks
tendon meningkat dan adanya refleks abnormal lain menunjukkan adanya
gangguan sistem saraf. Bisa juga terdapat ginekomasti, penurunan ukuran
testis, adanya spider naevi (spider telangiectasia) di kulit, atau
tanda-tanda gagal hati lainnya.
Secara klinis SHR dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu :
1. Sindrom Hepatorenal tipe I
Tipe I ditandai oleh peningkatan yang cepat dan progresif dari
BUN (Blood urea nitrogen) dan kreatinin serum dimana nilai kreatinin
>2,5 mg/dl atau penurunan kreatinin klirens dalam 24 jam sampai 50%,
keadaan ini timbul dalam beberapa hari hingga 2 minggu. Gagal ginjal
sering dihubungkan dengan penurunan yang progresif dari jumlah urin,
Gangguan hemodinamik yang sering ditemukan pada sindrom hepatorenal:
- Cardiac output meninggi
- Tekanan arterial menurun
- Total tahanan pembuluh darah sistemik menurun
- Total volume darah meninggi
- Aktifasi sistem vasokonstriktor meninggi
- Tekanan portal meninggi
- Portosystemic shunting
- Tekanan pembuluh darah splangnik menurun
- Tekanan pembuluh darah ginjal meninggi
- Tekanan arteri brachial dan femoral meninggi
- Tahanan pembuluh darah otak meninggi
- Retensi natrium dan hiponatremi.
Penderita dengan tipe ini biasanya dalam kondisi klinik yang
sangat berat dengan tanda gagal hati lanjut seperti ikterus,
ensefalopati, atau koagulopati. Tipe ini umum terjadi pada sirosis
alkoholik yang berhubungan dengan hepatitis alkoholik, tetapi dapat juga
timbul pada sirosis non alkoholik. Kira-kira setengah kasus SHR tipe
ini timbul spontan tanpa ada faktor presipitasi yang diketahui.
Kadang-kadang pada sebagian penderita terjadi hubungan sebab akibat yang
erat dengan beberapa komplikasi atau intervensi terapi (seperti inveksi
bakteri, perdarahan gastrointestinal, dan parasintesis). Spontaneus
bacterial peritonirtis (SBP) adalah penyebab umum dari penurunan fungsi
ginjal pada sirosis. Kira-kira 35% penderita sirosis dengan SBP timbul
SHR tipe I.
SHR tipe I adalah komplikasi dengan prognosis yang sangat buruk
pada penderita sirosis, dengan mortalitas mencapai 95%. Rata-rata waktu
harapan hidup penderita ini kurang dari dua minggu. Lamanya harapan
hidup pada penderita SHR tipe I ini lebih buruk dibanding dengan gagal
ginjal akut dengan penyebab lainnya.
2. Sindroma Hepatorenal tipe II
Tipe II SHR ini ditandai dengtan penurunan yang sedang dan stabil
dari laju filtrasi glomerulus (BUN dibawah 50 mg/dl dan kreatinin serum
< 2 mg / dl). Tidak seperti tipe I SHR, tipe II SHR ini biasanya
terjadi pada penderita dengan fungsi hati yang relatif baik. Biasanya
terjadi pada penderita dengan ascites resisten diuretik. Diduga harapan
hidup penderita dengan kondisi ini lebih panjang dari pada SHR tipe I.
E. Diagnosis
Tidak ada tes yang spesifik untuk diagnosis SHR. Kriteria
diagnosis yang dianut sekarang adalah berdasarkan International Ascites
Club’s Diagnostic Criteria of Hepatorenal Syndrome.
Kriteria mayor diagnosis SHR berdasarkan International Ascites Club :
- Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi portal.
- Laju filtrasi glomelurus (GFR) rendah, keratin serum >1,5 mg/dl (130mmol/l) atau kreatinin klirens 24 jam < 40 ml/mnt.
- Tidak ada syok, infeksi bakteri sedang berlangsung, kehilangan cairan dan mendapat obat nefrotoksik.
- Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma
ekspander atau pemberian cairan isotonic 1,5 ltr dan diuretik (penurunan
kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau peningkatan kreatinin
klirens menjadi > 40 ml/mnt)
- Proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai obstruksi uropati atau penyakit parenkim ginjal secara ultrasonografi.
Kriteria tambahan :
1. Volume urin < 500 ml / hari
2. Natrium urin < 10 mEq/liter
3. Osmolalitas urin > osmolalitas plasma
4. Eritrosit urin < 50 /lpb
5. Natrium serum <130 meg / liter
Semua kriteria mayor harus dijumpai dalam menegakkan diagnosis
SHR, sedangkan kriteria tambahan merupakan pendukung untuk diagnosis
SHR. Beberapa faktor predisposisi untuk timbulnya SHR pada penderita
sirosis dengan ascites adalah:
- Peningkatan ringan BUN dan atau kreatinin serum
- Menurunnya ekskresi air setelah pemberian cairan
- Ekskresi natrium urin yang rendah
- Hipotensi arterial
- Aktifitas plasma rennin meninggi
- Kadar norepinefrin plasma tinggi
- Refrakter ascites
- Tidak ada hepatomegali
- Peningkatan vascular resistive index ginjal SHR perlu
dibedakan dengan adanya kondisi penyakit hati bersamaan dengan penyakit
ginjal atau penurunan fungsi ginjal. Pada beberapa keadaan, diagnosis
SHR mungkin dapat dibuat setelah menyingkirkan (ruled out)
pseudohepatorenal syndrome. Pseudohepatorenal sindrom adalah suatu
keadaan terdapatnya kelainan fungsi ginjal bersama dengan gangguan
fungsi hati yang tidak mempunyai hubungan satu sama lain.
Beberapa
penyebab psudohepatorenal sindrom adalah :
- Penyakit kongenital (misal penyakit polikistik ginjal dan hati)
- Penyakit metabolik (diabetes melitus, amiloidosis, penyakit Wilson)
- Penyakit sistemik (SLE, arthritis rematoid, sarkoidosis.
- Penyakit infeksi (leptospirosis, sepsis, malaria, hepatitis virus, dan lain-lain)
- Gangguan sirkulasi (syok, insufisisensi jantung)
- Intoksikasi (endotoksin, bahan kimia, gigitan ular, luka bakar, dan lain-lain)
- Medikamentosa (metoksifluran, halotan, sulfonamid, parasetamol, tetrasiklin, iproniazid)
- Tumor (hipernefroma, metastasis)
- Eksperimenta (defisisensi kolin, dan lain-lain)
F. Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ada pengobatan efektif untuk SHR oleh
karena itu pencegahannya terjadinya SHR harus mendapatkan perhatian yang
utama.
· Penatalaksanaan Umum
SHR sebagian besar dipacu oleh ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit pada pasien sirosis hati. Oleh karena pasien sirosis hati
sangat sensitive dengan perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit
maka hindari pemakaian diuretic agresif, parasentesis asites, dan
retraksi cairan yang berlebihan. Terapi suportif berupa :
– Diet tinggi kalori dan rendah protein
– Koreksi keseimbangan asam basa
– Hindari pemakaiaian oains
– Peritonitis bacterial sepontan pada sirosis hati harus segera diobati sedini dan seadekuat mungkin
– Hemodialisis belum pernah secara formal diteliti pada pasien
SHR, namun tampaknya tidak cukup efektif dan efek samping tindakan cukup
berat misalnya hipotensi, sepsis, dan pendarhan saluran cerna.
· Pengobatan medikamentosa
a. Vasodilator
Obat-obatan dengan aktifitas vasodilator
terutama PGs telah dipakai pada penderita dengan SHR dalam usaha untuk
menurunkan resistensi vaskuler ginjal. Pemberian PGs intra vena atau
pengobatan dengan misoprostol (analog PGs oral aktif) pada penderita
sirosis hati dengan SHR tidak diikuti dengan perbaikan fungsi renal.
Dopamin pada dosis nonpressor juga digunakan dalam usaha menimbulkan
vasodilatasi renal pada penderita SHR. Infus dopamin selama 24 jam hanya
menyebabkan peningkatan yang ringan pada aliran darah ginjal tanpa
perubahan yang berarti dalam laju filtrasi glomerulus. Pemberian
antagonis endotelin spesifik dapat segera berhubungan dengan perbaikan
fungsi ginjal pada pasien dengan SHR.
b. Vasokonstriktor
Hipoperfusi ginjal pada SHR pada penderita
sirosis berhubungan dengan pengurangan pengisian sirkulasi arteri.
Rasionalisasi penggunaan Vasokonstriktor adalah untuk mengatasi
vasodilatasi splanknik (yang merupakan salah satu hpotesis terjadinnya
sindroma hepatorenal). Vasokonstriktor telah digunakan dalam usaha
memperbaiki perfusi ginjal dengan menaikkan resistensi vaskuler sistemik
dan menekan aktifitas vasokonstriktor sistemik.
Pemberian Terlipressin berdampak positif terutama bila
dikombinasikan dengan pemberian infuse albumin atau koreksi albumin
serum merupakan vasokonstriktor yang baik pada kasus SHR.
Penelitian Guevara dkk menunjukkan bahwa pemberian kombinasi
ornipressin dengan penambahan volume plasma dengan almumin memperbaiki
fungsi ginjal dan menormalkan perubahan hemodinamik pada pasien sirosis
dengan SHR. Tiga hari pengobatan dengan ornipressin dan albumin dapat
menormalkan aktifitas yang berlebihan dari rennin – angiotensin dan
sistem saraf simpatis, peningkatan kadar natriuetik peptida arteri, dan
hanya memperbaiki sedikit fungsi ginjal. Pemberian ornipressin dan
albumin selama 15 hari, perbaikan fungsi ginjal dijumpai dengan
peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Terapi ini
dapat digunakan dengan kewaspadaan yang tinggi. Pada beberapa pasien
hal ini tidak dilanjutkan karena komplikasi iskemik.
Pada beberapa penelitian pemberian Midodrine dan Octreotide pada
13 penderita SHR tipe I, setelah 20 hari pengobatan didapatkan penurunan
aktifitas plasma renin, vasopressin dan glukagon. 1 penderita bertahan
hidup sampai 472 hari, 1 penderita dilakukan transplantasi hati, dan
yang lain meninggal setelah 75 hari karena gagal hati.
· Tindakan invasive
a. Peritoneovenous shunt
Peritoneovenous shunt telah digunakan secara sporadis pada masa
lalu untuk penatalaksanaan pasien-pasien SHR dengan sirosis. Pemasangan
shunt menyebabkan cairan ascites mengalir terus menerus dari rongga
peritoneum ke sirkulasi sistemik yang berperan dalam meningkatkan curah
jantung (cardiac output) dan penambahan volume intravaskuler. Efek
hemodinamik dari peritoneovenous shunt dihubungkan dengan penekanan yang
nyata dari aktifitas system vasokonstriktor, peningkatan ekskresi
natrium, dan pada beberapa kasus dapat memperbaiki aliran darah ginjal
dan laju filtrasi glomerulus, hal nilah yang menyebabkan rasionalisasi
tindakan pada penderita SHR.
b. Portosystemic shunt
Akhir-akhir ini telah diperkenalkan suatu metode non bedah untuk
kompresi portal yaitu Transjugular intrahepatic portosystemic shunt
(TIPS). Keuntungan metode ini dibanding dengan operasi portocaval shunt
adalah penurunan mortalitas akibat operasi. Komplikasi yang paling
sering pada pasien yang mendapat pengobatan dengan TIPS adalah hepatic
encephalophaty dan obstruksi dari stent. TIPS bermanfaat pada 75% kasus,
dengan angka ketahaan hidep SHR tipe 2 lebih baik dibandingkan SHR tipe
1.
Beberapa laporan yang melibatkan sejumlah pasien cenderung
memperlihatkan bahwa prosedur ini meningkatkan fungsi ginjal pada pasien
sirosis hati dengan SHR yang tidak dapat lagi untuk dilakukan
transplantasi hati. Penelitian diatas menunjukkan bahwa TIPS memberikan
banyak keuntungan pada penatalaksanaan SHR. Walaupun demikian,
penggunaan TIPS masih memerlukan penelitian kontrol untuk dapat
direkomendasikan. Guevara dkk melakukan TIPS pada 7 penderita SHR tipe 1
dan menyimpulkan TIPS dapat memperbaiki fungsi ginjal, menurunkan
aktifitas renin angiotension dan sistem saraf simpatis.
c. Dialisis
Hemodialisis atau peritoneal dialisis telah
dipergunakan pada penatalaksanaan penderita dengan SHR, dan pada
beberapa kasus dilaporkan dapat meningkatkan fungsi ginjal. Walupun
tidak terdapat penelitian kontrol yang mengevaluasi efektifitas dari
dialisis pada kasus ini, tetapi pada laporan penelitian tanpa kontrol
menunjukkan efektifitas yang buruk, karena banyaknya pasien yang
meninggal selama pengobatan dan terdapat insiden efek samping yang cukup
tinggi. Pada beberapa pusat penelitian, hemodialisis masih tetap
digunakan untuk pengobatan pasien dengan SHR yang sedang menunggu
transplantasi hati.
d. Transplantasi Hati
Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat
untuk penderita SHR, yang dapat menyembuhkan baik penyakit hati maupun
disfungsi ginjalnya. Tindakan transplantasi ini merupakan masalah utama
mengingat prognosis buruk dari SHR dan daftar tunggu yang lama untuk
tindakan tersebut di pusat transplantasi. Segera setelah transplantasi
hati, kegagalan fungsi ginjal dapat diamati selama 48 jam sampai 72 jam
pertama. Setelah itu laju filtrasi glomerulus mulai mengalami perbaikan.
Angka harapan hidup pada SHR tipe 1 umumnya pendek yaitu kurang
dari 2 minggu. Nsehingaa transplantasi hati pada SHR tipe 1 sulit
dilaksanaakan. Pada SHR tipe 2 transplantasi hati terbukti bermanfaat
pada 90% kasus dengan angka ketahanan hidup yang lebih kurang sama
dengan transplantasi pada pasin tanpa SHR.
G. Pencegahan
Resiko SHR dapat dikurangi dengan pemakaian terapi diuretik
secara berhati-hati dan pemantauan ketat, penemuan dini setiap
komplikasi seperti ketidakseimbangan elektrolit, perdarahan atau
infeksi. Obat nefrotoksik dihindari. Resiko perburukan ginjal setelah
parasintesis volume besar dikurangi dengan pemberian lbumin rendah
garam.
Resiko serangan ulangan peritonitis bakterial spontan dikurangi
dengan pemberian antibiotik profilaksis. Bila pasien SBP mendapat terapi
antibiotika, pemberian albumin akan mengurangi frekuensi disfungsi
ginjal. Pencegahan infeksi bakteri : infeksi bakteri terjadi pada hampir
50% pasien dengan perdarahan varises dan antibiotika profilaksis
memperbaiki survival sekitar 10%.
Ekspansi volume : untuk mencegah
terjadinya gagal ginjal pada pasien SBP, direkomendasikan pemberian
ekspansi volume plasma dengan lbumin 20% (1-1,5 gram/kgBB selama 1-3
hari) pada saat diagnosis untuk mencegah disfungsi sirkulasi, gangguan
ginjal, dan mortalitas. Pemakaian diuretic dengan bijaksana :
mengidentifikasi dosis efektif terendah diuretik untuk setiap individu
pasien adalah sangat penting karena gangguan fungsi ginjal akibat
diuretik terjadi pada sekitar 20% pasien asites sehingga terjadi
penurunan volume intravaskular.
Menghindari pemakaian obat nefrotoksik :
pasien dengan sirosis dan asites merupakan predisposisi mendapat
aminoglikosida dengan gagal ginjal terjadi sekitar 33%. Penyebab penting
lain kegagalan ginjal adalah pemakaian NSAIDs. Obat ini menghambat
pembentukan prostaglandin intra renal yang mengakibatkan penurunan nyata
fungsi ginjal dan eksresi Na+/H2O2 pada pasien sirosis dengan asites.
H. Prognosis
SHR merupakan komplikasi terminal penyakit hati yang sudah lanjut
atau berat, sehingga prognosis penyakit ini buruk dengan angka kematian
lebih dari 90%. Walau ada dari beberapa laporan kasus SHR yang
mengalami perbaikan tetapi jumlahnya sangat sedikit yang terakhir ini
terjadi bila diagnosis penggulangannya dilakukan sedini mungkin.
Kebanyakan pasien SHR meninggal akibat kegaalan faal hati,
perdarahan saluran cerna dan infeksi. Jarang akibat langsung dari gagal
ginjalnya. Umunya pasien meninggal 3 minggu setelah diketahui adanya
gagal ginjal.